Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Mengantisipasi Resesi Ekonomi 2016

Belum juga kita dalam kecepatan penuh menjalani kehidupan awal 2016, Indonesia sudah terancam dihempas resesi ekonomi dunia

Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS/TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
Ichsanuddin Noorsy 

Oleh Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., MSi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum juga kita dalam kecepatan penuh menjalani kehidupan awal 2016, Indonesia sudah terancam dihempas resesi ekonomi dunia.

Ditandai dengan devaluasi Yuan, menukiknya harga minyak yang mungkin akan mencapai di bawah 20 dolar AS per barel, dan koreksi Bank Dunia atas pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,3 persen menjadi 2,9 persen.

Yuan lagi-lagi devaluasi karena masalah harga minyak dunia yang jatuh dan melorotnya harga saham. Harga minyak menukik karena Amerika sukses mengekplorasi miyak dan oil shale, suatu teknologi yang perangkatnya cukup diangkut dengan mobil pick-up.

Ini mengakibatkan biaya produksi minyak mentah menukik luar biasa. Negara manapun yang mengeluarkan biaya produksi minyak mentah (crude oil) di atas 20 dolar AS per barel, akan terpukul karena biaya teknologi untuk eksplorasi minyak dan oil shale di bawah 4 dolar AS per barel.

Saat yang sama, dengan menyebar luaskan penggunaan pembangkit listrik bertenaga matahari, solar panel, dan angin, AS telah berhasil mengonversi penggunaan enerji fosil ke tenaga matahari
untuk listrik sebesar 6 juta barel perhari. Ini semua di luar dugaan masyarakat dunia.

Awalnya kalangan ahli teknologi perminyakan menduga penggunaan teknologi untuk shale baru akan mencuat pada 2016. Kenyataannya justru lebih cepat. Demikian juga dengan penggunaan enerji baru terbarukan (renewable energy).

Hillary Clinton dari Partai Demokrat dalam kampanye Pilpres 2016, sejak medio 2015 selalu membawa isu pentingnya enerji  surya dan angin.

Presiden AS Obama pun menerapkannya melalui kampanye perubahan iklim global dengan membuat perjanjian penggunaan enerji global yang bersih bersama RRC.

Jerman, Jepang, RRC, India mengikuti jejak penggunaan enerji terbarukan ini. Akibatnya, seperti yang kita saksikan sekarang, harga minyak dunia menukik. Direktur Eksekutif IMF  Christine Lagard memperkirakan, harga minyak dunia berfluktuasi antara 5-15 dolar per barel.

Menyusul kemudian Bank Dunia yang mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi di seluruh belahan dunia.Ini berarti, perang harga minyak akan berlanjut. Memperhatikan fluktuasi harga minyak sejak OPEC berdiri tahun 1960, tidak ada perubahan harga itu tidak berhubungan dengan peristiwa politik.

Atas dasar itulah sejak 14 Juli 2008 saat harga minyak dunia mencapai 147 dolar AS per barel, saya menyampaikan bahwa harga minyak akan tetap menjadi salah satu senjata perang ekonomi.

Henry Kissinger mengatakan, jika ingin mengendalikan suatu negara, kendalikan enerjinya. Perang harga minyak ini juga beriringan dengan perang nilai tukar kendati Yuan sudah menjadi bagian Special Drawing Right (mata uang IMF) dengan bobot  10,11 persen.

Maka saat dua lembaga multi lateral itu mengumumkan proyeksinya, saya berkomentar di lingkungan wartawan senior, “Amerika sedang memukul telak musuh-musuhnya dengan tujuan dominasi ekonominya tidak tergoyahkan”.

Dalam ekonomi internasional, selain nilai tukar dan komoditas seperti minyak, ada dua variabel lain, yakni suku bunga dan inflasi sebagai faktor yang harus diperhitungkan dengan seksama.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan