Tribunners / Citizen Journalism
Ichsanuddin Noorsy: Kebijakan Neoliberal Terjamin Berkesinambungan
Di tengah kecamuk perang ekonomi RRC melawan hegemoni AS dan aliansinya, Presiden RI Joko Widodo merombak personil kabinetnya.
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy
JAKARTA - Di tengah kecamuk perang ekonomi RRC melawan hegemoni AS dan aliansinya, Presiden RI Joko Widodo merombak personil kabinetnya.
Tujuannya adalah memperbaiki kinerja ekonomi yang terus memburuk. Saya menyebutnya, perekonomian Indonesia di ambang pintu krisis tak berkesudahan sejak dihentaknya kedaulatan ekonomi melalui pukulan nilai tukar pada 1997/1998.
Sejak saat itulah gejolak ekonomi yang ditandai dengan jatuh bangunnya nilai tukar terus mendera Indonesia. Joko Widodo merespon situasi itu dengan Revolusi Mental, Trisakti dan Nawacita.
Setelah sah terpilih menjadi Presiden RI ke 7, Joko Widodo mengusung RPJMN 2015-2019 berisikan pembangunan infrastruktur. Dengan fokus ini Joko Widodo tidak sungkan mendengar anjuran IMF, Bank Dunia, ADB, OECD dan WEF agar mencabut subsidi pada sektor energi.
Anjuran ini dilaksanakan setelah memilih personalia Kabinet KKK yang walaupun kompetensi tidak memadai tetap pemegang teguh dan pelaksana setia mekanisme pasar bebas.
Maka sejak pelantikan Kabinet KKK pada 27 Oktober 2014 di berbagai media saya mengatakan, Kabinet KKK tidak dalam jiwa dan semangat merealisasikan Trisakti dan Revolusi Mental.
Satu dua personalia kabinet yang direkrut dengan rujukan politik berbagi kursi adalah orang orang baik yang tidak pada tempatnya. Di bidang ekonomi lainnya, adalah sosok pemburu tahta dan kemudian bersikap "power and glory", atau "enjoy the power".
Maka gejolak harga kebutuhan tak teratasi. Pertumbuhan melambat. Publik merasa perlu Presiden mengganti menteri yang kualitasnya tidak memadai.
Maka beredarlah tujuh hingga 12 kursi menteri yang akan diganti. Dugaan orang benar bahwa setelah Idul Fitri 1436 pengumuman pergantian dilakukan.
Tapi agak mengherankan, kenapa hanya lima kursi menteri dan satu selevel menteri.
Saya menduga ini adalah kompromi optimal dari Megawati, Luhut B Panjaitan, Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Joko Widodo sendiri. Sulit dihindari berlangsungnya tekan menekan secara politik walau dilakukan dengan lembut.
Masalahnya, apakah gesekan politik berbuah pergantian enam orang itu demi keluhuran kepentingan nasional? Ini pertanyaan sulit dijawab. Panggung kekuasaan politik Indonesia sejak amandemen UUD 1945 pada 2001 selalu mempergelarkan perebutan kekuasaan yang mengabaikan kepentingan luhur bangsa dan negara.
Itu tercermin pada parpol peserta pemilu, Pilpres atau pemilihan di tingkat I atau II. Atas nama kepentingan, mereka berkampanye, sebagaimana Joko Widodo berkampanye Trisakti.
Giliran pada pemilihan aktor pelaksana dan penyelenggaraan pemerintahan, sejarah politik ekonomi Indonesia membuktikan, fundamentalisme pasar bebas yg menjadi penguasanya, mengekor hegemoni ekonomi politik di dunia.
Akibatnya seperti sekarang, situasi ekonomi yg abnormal yg selalu berulang. Dengan pergantian personil kabinet sekarang pun tidak ada jaminan situasi abnormal itu tdak berulang.
Apalagi Darmin Nasution diposisikan sebagai Menko Perekonomian yang berarti kebijakan bermuatan neoliberal terjamin berkesinambungan (sustainability policy).
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.