Sabtu, 4 Oktober 2025

Pakar Keamanan Siber Minta Indonesia Lebih Waspada, Serangan Ransomware dan Disinformasi Makin Nyata

Sepanjang 2023 sampai 2024 saja telah terjadi 5 kasus kebocoran data seperti kasus kebocoran data Dukcapil hingga data NPWP dan wajib pajak.

Editor: Choirul Arifin
dok.
WASPADAI SERANGAN SIBER - Profesor Mary Aiken, pakar psikologi siber internasional dalam wawancara dengan media di sela penyelenggaraan Global Cybersecurity Forum 2025 di Riyadh, Rabu, 1 Oktober 2025. 

“Besaran, demokrasi, dan sentralitas Indonesia di Asia Tenggara menjadikannya target yang sangat menarik," ungkapnya.

"Inilah sebabnya Indonesia harus menyiapkan standar yang lebih kuat, membangun laporan insiden siber yang cepat, dan menekankan kerja sama dengan sektor swasta,” paparnya.

Baca juga: Dari Phishing hingga Ransomware, Indonesia Perlu Strategi Proaktif Hadapi Ancaman Siber

Mary membandingkan dengan pengalaman Eropa. Menurutnya, benua itu sudah belajar bahwa resiliensi siber tidak bisa hanya mengandalkan teknologi.

“Eropa telah menunjukkan bahwa keberanian bukan hanya teknologi. Ini tentang transparansi, kerja sama, dan yang paling penting, kepercayaan masyarakat,” katanya.

Bagi Indonesia, ini berarti perlu ada pendidikan literasi digital massal, mulai dari sekolah dasar hingga masyarakat desa. Jika tidak, ruang kosong kepercayaan akan mudah diisi dengan kabar bohong yang mengadu domba.

Diplomasi Siber

Mary menyebut bahwa diplomasi siber akan menjadi arena baru diplomasi internasional. Negara-negara akan bertarung bukan hanya di bidang ekonomi atau militer, tapi juga dalam menentukan norma global soal data, privasi, hingga kejahatan siber.

“Diplomasi siber adalah diplomasi baru, dan Indonesia punya kredibilitas untuk memimpin Asia Tenggara,” ujar Mary.

Hal ini sejalan dengan ambisi Indonesia yang ingin menjadi pusat ekonomi digital ASEAN. Namun tanpa keamanan siber, ambisi itu bisa terancam.

Mary mengingatkan, meski serangan siber tidak menimbulkan luka fisik seperti perang konvensional, dampaknya bisa jauh lebih luas.

“Mereka bisa menghentikan ekonomi, mematikan layanan kritis, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat,” ungkapnya.

Menurut dia, operasi siber yang terjadi di Asia bisa dengan cepat bereskalasi jika tidak diperiksa. Karena itu, kerja sama regional sangat penting untuk membangun resiliensi bersama.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved