Pakar Keamanan Siber Minta Indonesia Lebih Waspada, Serangan Ransomware dan Disinformasi Makin Nyata
Sepanjang 2023 sampai 2024 saja telah terjadi 5 kasus kebocoran data seperti kasus kebocoran data Dukcapil hingga data NPWP dan wajib pajak.
TRIBUNNEWS.COM, RIYADH – Serangan siber kini menjadi ancaman nyata dan bisa melumpuhkan sistem dalam negara. Salah satunya seperti terlihat dari berbagai kasus kebocoran data.
Sepanjang 2023 sampai 2024 saja telah terjadi 5 kasus kebocoran data seperti kasus kebocoran data Dukcapil hingga data NPWP dan wajib pajak.
Mengutip data csirt.or.id, selama 2023 saja di Indonesia tercatat lebih dari 350 juta insiden serangan siber, yang menyebabkan kerugian setidaknya sebesar 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 15,9 miliar.
Profesor Mary Aiken, pakar psikologi siber internasional yang juga penasihat di sejumlah lembaga keamanan internasional mengingatkan agar Indonesia mewaspadai maraknya serangan siber ini.
Dalam wawancara dengan media di sela penyelenggaraan Global Cybersecurity Forum 2025 di Riyadh, Rabu, 1 Oktober 2025, Aiken menegaskan bahwa konflik siber “tidak mengenal perbatasan”.
“Serangan ransomware atau kampanye malware yang diluncurkan di satu teater bisa dengan mudah menyebar ke tempat lain," kata dia.
Untuk Indonesia, artinya kita harus berinvestasi dalam kebersihan siber mulai dari pemerintah, infrastruktur kritikal, hingga penduduk biasa,” kata Aiken kepada Tribunnews.
Ancaman Bisa Masuk ke Rumah Tangga
Mary menekankan bahwa persoalan siber bukan hanya soal teknologi tinggi. Bahkan keluarga biasa di Indonesia, yang sehari-hari memakai ponsel pintar untuk belanja online atau anak sekolah daring, bisa jadi korban serangan.
“Keberanian sebenarnya adalah mengharapkan yang tidak diharapkan, dan berlatih untuk itu sebelum serangan tiba,” tambahnya.
Kasus pembobolan data e-commerce besar di Indonesia beberapa tahun lalu menjadi contoh nyata. Jutaan data pribadi masyarakat bocor, lalu dijual di forum gelap internet. Dampaknya bukan hanya kerugian finansial, tapi juga ancaman terhadap rasa aman warga.
Selain serangan teknis seperti malware, Aiken mengingatkan ancaman disinformasi yang semakin berbahaya di Indonesia menjelang tahun politik.
“Kesalahpahaman berkembang di tempat kepercayaan rendah dan literasi digital yang lemah. Disinformasi adalah senjata yang menarik, bukan mesin. Indonesia harus berusaha melindungi keduanya—sistem digitalnya dan kepercayaan publiknya,” jelasnya.
Baca juga: Serangan Siber Ganggu Sejumlah Bandara di Eropa, Ribuan Penumpang Pesawat Telantar
Fakta menunjukkan, di Indonesia berita bohong (hoaks) sering menyebar lebih cepat daripada klarifikasi resmi. Bahkan, dalam survei terbaru, sebagian masyarakat mengaku masih sulit membedakan informasi palsu dan fakta di media sosial.
Indonesia Jadi Target Operasi Pengaruh
Mary juga menyinggung posisi Indonesia yang unik. Sebagai negara demokrasi besar dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia disebutnya sebagai target yang “sangat menarik” bagi operasi pengaruh asing.
“Besaran, demokrasi, dan sentralitas Indonesia di Asia Tenggara menjadikannya target yang sangat menarik," ungkapnya.
"Inilah sebabnya Indonesia harus menyiapkan standar yang lebih kuat, membangun laporan insiden siber yang cepat, dan menekankan kerja sama dengan sektor swasta,” paparnya.
Baca juga: Dari Phishing hingga Ransomware, Indonesia Perlu Strategi Proaktif Hadapi Ancaman Siber
Mary membandingkan dengan pengalaman Eropa. Menurutnya, benua itu sudah belajar bahwa resiliensi siber tidak bisa hanya mengandalkan teknologi.
“Eropa telah menunjukkan bahwa keberanian bukan hanya teknologi. Ini tentang transparansi, kerja sama, dan yang paling penting, kepercayaan masyarakat,” katanya.
Bagi Indonesia, ini berarti perlu ada pendidikan literasi digital massal, mulai dari sekolah dasar hingga masyarakat desa. Jika tidak, ruang kosong kepercayaan akan mudah diisi dengan kabar bohong yang mengadu domba.
Diplomasi Siber
Mary menyebut bahwa diplomasi siber akan menjadi arena baru diplomasi internasional. Negara-negara akan bertarung bukan hanya di bidang ekonomi atau militer, tapi juga dalam menentukan norma global soal data, privasi, hingga kejahatan siber.
“Diplomasi siber adalah diplomasi baru, dan Indonesia punya kredibilitas untuk memimpin Asia Tenggara,” ujar Mary.
Hal ini sejalan dengan ambisi Indonesia yang ingin menjadi pusat ekonomi digital ASEAN. Namun tanpa keamanan siber, ambisi itu bisa terancam.
Mary mengingatkan, meski serangan siber tidak menimbulkan luka fisik seperti perang konvensional, dampaknya bisa jauh lebih luas.
“Mereka bisa menghentikan ekonomi, mematikan layanan kritis, dan menghancurkan kepercayaan masyarakat,” ungkapnya.
Menurut dia, operasi siber yang terjadi di Asia bisa dengan cepat bereskalasi jika tidak diperiksa. Karena itu, kerja sama regional sangat penting untuk membangun resiliensi bersama.
Israel dan Iran Jauh dari Kata Damai, Perang Bayangan Sengit Intelijen hingga Serangan Siber |
![]() |
---|
Mendagri Tito Karnavian Minta Pemda Bentuk Tim Tanggap Insiden Siber untuk Cegah Kebocoran Data |
![]() |
---|
Cegah Serangan Siber, Satsiber TNI Gandeng Sucofindo Gelar Pelatihan |
![]() |
---|
62 Persen Serangan Siber di Indonesia Pada Aktivitas Pembobolan Data, Manufaktur Jadi Sasaran Utama |
![]() |
---|
Cegah Serangan Siber, Industri Asuransi Edukasi Perlindungan Data ke Semua Level Karyawan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.