Kamis, 2 Oktober 2025

20 Tahun Alex Menjajakan Kue Putu Khas Wonogiri: Dulu Harganya Rp50

Alex (54), adalah satu dari sedikit penjual kue putu yang masih bertahan di tengah arus modernisasi kuliner. 

Penulis: timtribunsolo
Editor: Tiara Shelavie
dok.Rifqi Fawwaz Rijandra/Tribunnews
KUE PUTU LEGENDARIS - Alex saat ditemui di daerah Banjarsari Solo, Rabu 16 Juli 2025. Alex adalah salah satu dari sedikit penjual kue putu yang masih bertahan di tengah arus modernisasi kuliner 

TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Di sore yg cerah terdengar suara “tuuut” khas dari cerobong sebuah gerobak. 

Suara itu bukan sekadar peluit biasa, tapi penanda yang sudah akrab di telinga yaitu kue putu.

Alex (54), adalah satu dari sedikit penjual kue putu yang masih bertahan di tengah arus modernisasi kuliner. 

Pria ramah ini sudah lebih dari dua puluh tahun menjajakan kue putu khas Wonogiri secara mandiri, meneruskan tradisi keluarga yang sudah diwariskan turun-temurun sejak zaman nenek moyangnya.

“Dulu waktu saya mulai jualan tahun 1995, harganya masih 50 rupiah. Sekarang ya sudah beda,” ucapnya sambil tersenyum. 

Saat itu, ia masih memikul dagangan dan menggunakan minyak tanah untuk mengukus putu. 

Kini, ia beralih menggunakan gerobak dorong dan kompor gas. 

Meski alat berubah, rasa dan semangat tetap sama.

Kue putu yang dijajakannya terbuat dari bahan sederhana: tepung beras, kelapa parut, dan gula merah. 

Namun, racikan tangan dan kehangatan tradisi membuat jajanan ini terasa istimewa. 

“Saya habiskan sekitar 2 kilogram adonan sehari, jadi 350 kue, satunya seribu jadi ya dapet 350an ribu,” ungkapnya kepada Tribunnews, Rabu (16/7/2025).

KUE PUTU LEGENDARIS - Alex saat ditemui di daerah Banjarsari Solo, Rabu 16 Juli 2025. Alex adalah salah satu dari sedikit penjual kue putu yang masih bertahan di tengah arus modernisasi kuliner
KUE PUTU LEGENDARIS - Alex saat ditemui di daerah Banjarsari Solo, Rabu 16 Juli 2025. Alex adalah salah satu dari sedikit penjual kue putu yang masih bertahan di tengah arus modernisasi kuliner (dok.Rifqi Fawwaz Rijandra/Tribunnews)

Baca juga: Dorong Lahirnya UMKM Baru, Gerakan Passeddingeng Ganjar Gelar Pelatihan Pembuatan Kue Putu Ambon

Di pagi hari, Alex biasanya mempersiapkan bahan dagangan, lalu mulai keliling dari jam 1 siang hingga 9 malam.

Alex biasa berkeliling di daerah Banjarsari, Solo.

Suara “tuuut” yang keluar dari pipa uap gerobaknya menjadi ciri khas yang tak tergantikan. 

Dulu, suara itu berasal dari sambungan bambu, kini digantikan dengan cerobong alumunium. 

“Itu tandanya, kalau ada suara ‘tuuut’, berarti putunya siap,” jelasnya sambil menunjuk cerobong kecil di ujung gerobak.

Meski telah menjalani pekerjaan sebagai kuli bangunan dua tahun terakhir untuk tambahan penghasilan, Alex tetap setia dengan kue putu. 

Ia mengaku harga bahan makin naik, terutama kelapa yang kini bisa tembus 18 ribu, padahal dulu hanya 8 ribu. 

Dari berjualan kue putu ini dapat menghidupi istri dan anak satu-satunya yang kini sudah menikah dan memiliki kehidupan sendiri. 

Meski belum terlihat akan meneruskan usaha kue putu, Alex berharap tradisi ini tidak berhenti di dirinya.

(mg/Rifqi Fawwaz Rijandra)

Penulis adalah peserta magang dari Universitas Sebelas Maret (UNS)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved