Siswa SD di Riau Dibully hingga Tewas, SETARA: Negara Tak Boleh Abai
Respons SETARA Institute soal dugaan perundungan siswa yang terjadi di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
Catatan redaksi: judul dalam artikel ini telah diubah dengan pertimbangan suatu hal
TRIBUNNEWS.COM - Dugaan perundungan siswa terjadi di sebuah Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
Seorang siswa kelas 2 SD berinisial KB (8) meninggal saat dirawat di RSUD Indrasari Rengat, Riau, pada Senin (26/5/2025) sekitar pukul 02.30 WIB.
Berdasarkan laporan dari orang tua korban, perundungan dilakukan lima kakak kelas pada Rabu (21/5/2025).
Ayah korban, Gimson Beni Butarbutar (38) mengungkapkan, perundungan tersebut awalnya terjadi karena perbedaan agama dan suku.
"Seminggu yang lalu, dia itu sudah sering dibully. Dibilang suku ini, agama ini. Itu sebelum dia sakit. Itu biasalah karena mereka namanya anak-anak sekolah," jelas Gimson, sebagaimana dilansir Kompas.com, Selasa (27/5/2025).
Perundungan yang diduga karena perbedaan agama dan suku ini pun mendapatkan sorotan dari SETARA Institute.
SETARA menilai tindakan kekerasan yang berujung pada kematian itu merupakan pelanggaran berat terhadap hak anak.
"Pertama, SETARA Institute mengecam keras terjadinya kasus tragis ini. Tindakan kekerasan yang berujung pada kematian tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak anak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan 'Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,' dan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945," terang Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dalam siaran persnya, Jumat (30/5/2025).
Kemudian, SETARA menilai kasus ini menunjukkan bahwa intoleransi merasuki generasi muda Indonesia.
Simptom intoleransi yang terjadi di lapangan, bahkan bukan hanya menimpa anak-anak usia sekolah menengah atas (SMA), melainkan lebih muda dari itu.
Baca juga: Update Siswa SD di Riau Tewas: Kakak Kelas Akui Aniaya Korban, Ditemukan Luka Memar di Perut
"Survei yang dilakukan oleh SETARA Institute pada Februari 2023 menunjukkan bahwa diperlukan pelipatgandaan upaya untuk menghalau paparan intoleransi dan ekstremisme kekerasan dari satuan pendidikan kita."
"Meskipun 70,2 persen dari responden berkategori toleran, 24,2 persen siswa SMA intoleran pasif, 5 persen intoleran aktif, dan 0,6 persen dari mereka terpapar ideologi ekstremisme kekerasan," sambungnya.
SETARA pun menegaskan bahwa negara tak boleh bersikap abai dan mesti mengambil tindakan dalam menjamin perlindungan bagi anak dan kelompok minoritas agama.
"Ketiga, dalam konteks tragedi di Riau, negara tidak boleh abai. Negara harus hadir dan mengambil tindakan yang memadai dalam menjamin perlindungan bagi anak dan kelompok minoritas agama atau keyakinan, serta harus memastikan para pelaku dan pihak yang bertanggung jawab diproses secara adil sesuai hukum yang berlaku," jelas Halili.
Lebih lanjut, SETARA mendesak sejumlah pihak untuk segera mengambil tindakan.
Polisi harus mengusut tuntas kasus ini dan memastikan semua pelaku, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak lain, misalnya pembiaran oleh orang dewasa terkait, untuk diproses hukum secara profesional dan memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.
"Kepolisian dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebaiknya memberikan perlindungan kepada keluarga korban, terutama orang tuanya agar tidak mendapat intimidasi lebih lanjut," ucap Halili.
SETARA lantas mendorong pemerintah daerah setempat untuk melakukan evaluasi iklim sekolah yang menjadi tempat diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan serta memobilisasi sumber daya, termasuk program yang relevan untuk memastikan penyelenggaraan program pendidikan dan lingkungan sekolah yang damai, non-diskriminatif, inklusif dan aman untuk semua.
Semestinya, kehadiran TPPK bisa mencegah tindak kekerasan seperti yang dialami oleh korban KB.
"Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah hendaknya melakukan evaluasi dan pemantauan atas eksistensi dan kinerja Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang dibentuk di satuan-satuan pendidikan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan."
"Eksistensi dan kinerja TPPK seharusnya dapat mencegah kekerasan seperti yang dialami oleh KB dan kekerasan lainnya di berbagai satuan pendidikan," ungkap Halili Hasan.
Kemudian, SETARA meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk memberikan rehabilitasi dan dampingan psikologis bagi keluarga korban.
Menurutnya, KPPPA juga mesti memastikan hak-hak keluarga korban, juga hak-hak para pelaku yang juga anak-anak, ketika proses hukum sedang berjalan.
"Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri juga mesti mengambil peran sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing untuk segera menyusun langkah pencegahan dan penanganan diskriminasi berbasis agama di tingkat daerah, serta mendorong peran aktif seluruh perangkat pemerintahan di daerah untuk membangun toleransi, perjumpaan lintas identitas, dan inklusi sosial sejak dini di tengah-tengah kemajemukan," ujarnya.
Sebelumnya, penyelidikan terhadap perkara dugaan perundungan terhadap korban KB masih terus berlanjut.
Pada Rabu (28/5/2025) lalu, tim dari Polres Inhu berada di SD tempat korban belajar.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Sekolah (Kepsek) di sekolah tersebut, yaitu Sutarno.
"Maaf masih pemeriksaan saksi di SD," ungkap Sutarno ketika dikonfirmasi TribunPekanbaru.com.
Meski begitu, Sutarno tidak menyebutkan jumlah saksi yang diperiksa di SD tersebut.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunPekanbaru.com dengan judul Dugaan Bullying Siswa SD oleh Kakak Kelas di Inhu, Polres Turun ke Sekolah untuk Pemeriksaan Saksi.
(Tribunnews.com/Deni)(TribunPekanbaru.com/Bynton Simanungkalit)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.