Minggu, 5 Oktober 2025

3 Kebijakan Dedi Mulyadi Bikin 'Heboh': Diancam Hercules hingga Dinilai Berpotensi Langgar HAM

Tiga kebijakan Dedi Mulyadi menuai pro-kontra. Mulai dari Satgas Pemberantasan Premanisme, wacana vasektomi, hingga pendidikan militer.

Tribunnews.com/ Taufik Ismail
KEBIJAKAN DEDI MULYADI - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi usai mengikuti pelantikan Kepala Daerah di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2025). Tiga kebijakan Dedi Mulyadi menuai pro-kontra. Mulai dari Satgas Pemberantasan Premanisme, wacana vasektomi, hingga pendidikan militer. 

Lebih lanjut, Yogi menyebut prosedur vasektomi tak bisa sembarangan diterapkan.

Ia berpendapat harus dibuat kontrak lebih dulu untuk menjamin kesehatan dan keselamatan peserta vasektomi.

Karena itu, Yogi pun meminta Dedi untuk mengkaji lebih dulu wacana vasektomi sebelum menerapkannya.

"Prosedur ini kan gak bisa seenaknya saja, karena kalau nanti terjadi kesalahan hanya dapat uang Rp 500 ribu dan gak ada asuransinya."

Baca juga: Dedi Mulyadi Wacanakan Vasektomi bagi Penerima Bansos: Berhenti Bikin Anak Kalau Tak Sanggup Nafkahi

"Harus ada prosedur kontrak dulu, jadi kebijakannya buat saya tidak beretika, kalau tepat ya tepat saja untuk mengendalikan penduduk," jelasnya.

"Nah jadi saya pikir Kang Dedi harus meninjau ulang lah kebijakan ini, karena dalam kebijakan itu ada etika ya, dan etika itu harus dijaga dan diperhatikan jangan sampai ada masalah," imbuh Yogi.

3. Pendidikan Militer Berpotensi Melanggar HAM

Amnesty International Indonesia menyoroti soal HAM terkait kebijakan pendidikan militer bagi anak-anak bermasalah yang sudah mulai diujicobakan Kamis (1/5/2025) di Purwakarta..

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kebijakan Dedi itu berpotensi melanggar HAM.

Ia juga menilai penanganan anak-anak bermasalah menggunakan cara militer, adalah tidak tepat.

Sebab, kata Usman, militer sering melibatkan disiplin keras dan hukuman fisik yang tak sesuai untuk anak-anak.

Menurutnya, anak-anak justru membutuhkan pendekatan yang mendukung perkembangan emosi, sosial, dan kognitif mereka.

"Pendekatan itu membawa potensi terjadinya pelanggaran hak-hak asasi anak."

"Pembinaan dengan cara militer dapat berpotensi melanggar hak-hak anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan fisik dan psikologis, serta hak untuk berkembang dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan mendukung," urai Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu.

"Pengalaman kekerasan atau disiplin keras dapat menyebabkan trauma dan memiliki dampak jangka panjang pada kesehatan mental dan emosi anak."

"Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menekankan perlindungan dan kesejahteraan anak," lanjutnya.

Halaman
1234
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved