12 Tahun Ditelantarkan Suami, SA Gugat Cerai
Sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri Denpasar, SA sudah melaporkan suaminya ke petugas PPA di Polresta Denpasar
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Seorang ibu rumah tangga berinisial SA (40) di Bali menggugat cerai suami SW (40) karena selama ini menelantarkan dirinya bersama dua anaknya tidak diberi nafkah hidup selama 12 tahun.
"Dia (SW) sudah menelantarkan saya. Dan saya sudah laporkan ke polisi atas sikap dan prilakunya," kata SA kepada media di Denpasar, Senin (22/6/2015).
SA bercerita, saat ini pihaknya tengah menggugat cerai suaminya SW. Sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Negeri Denpasar, SA sudah melaporkan suaminya ke petugas PPA di Polresta Denpasar.
Ia mengatakan, sejak 12 tahun lalu atau tiga tahun setelah menikah, SW sudah tidak pernah memberi nafkah hidup.
Selain tidak menafkahi dirinya selaku istri yang sah, suaminya juga tidak bertanggungjawab atas biaya hidup, kesehatan, dan pendidikan kedua anaknya.
"Dia (SW) sama sekali tidak mau tahu, tidak bertanggungjawab atas kehidupan saya dan anak-anak. Meski sudah saya sampaikan, tetap saja tidak mau bertanggungjawab, misal untuk biaya kesehatan dan pendidikan anak 12 tahun saya dan anak-anak saya ditelantarkan, tidak diberi nafkah," ujarnya.
Selain tidak menafkahi dirinya dan menelantarkan kedua anaknya, suami SA yakni SW juga memiliki wanita idaman lain.
"Sejak 12 tahun itu dia juga selingkuh dengan wanita lain. Bahkan mereka tinggal serumah di tempat lain dan memiliki anak juga. Suami saya melakukan itu tanpa seizin saya sebagai istri yang sah," katanya.
SA mengaku dirinya memilih bersabar selama 12 tahun dengan alasan kasihan terhadap kedua anaknya jika mereka berpisah di usia anak yang masih kecil.
Sementara untuk menyambung hidup karena tidak dinafkahi suami, SA bekerja serabutan, terutama di bidang jasa pembuatan SIM, STNK, dan pengadaan barang di instansi pemerintah di lingkungan Kota Denpasar.
"Syukur ya, ada saja rezeki selama 12 tahun ini, saya bisa membesarkan kedua anak saya, keduanya kini duduk di bangku SMP," ucapnya.
Sementara itu, Luh Anggraeni dari LBH Apik Bali mengatakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menduduki peringkat pertama di Pulau Dewata. Peringkat pertama kasus KDRT di Bali terjadi di Kabupaten Tabanan.
"Di Bali kasus KDRT masih tinggi, di Tabanan tertinggi, cuma penyelesaiannya selama ini di polisi saja. Dalam melaporkan masalah KDRT, banyak perempuan Bali masih belum mandiri. Oleh karena itu perlu pendampingan dari LSM," katanya.
Anggraeni mengaku selama ini aktif turun ke banjar-banjar (dusun) untuk menyosialisasikan Undang-Undang KDRT, guna memberi masukan agar perempuan Bali yang sudah menikah bisa menjaga rumah tangganya dan tidak sekadar menjadi objek semata.
"Kami lakukan penguatan-penguatan dengan informasi, sekarang tergantung mereka, pilihan mana yang mau dipilih. Jika mereka tidak punya akses, maka akan ada pendampingan agar mereka lebih paham UU KDRT," ujarnya.