Kamis, 2 Oktober 2025

Merapi Meletus

Saya Pilih Bergerak Sendiri Saja

Amukan dahsyat gunung Merapi sejak 26 Oktober 2010 hingga hari-hari ini masih menyisakan seribu satu kisah

Editor: Tjatur Wisanggeni
zoom-inlihat foto Saya Pilih Bergerak Sendiri Saja
TRIBUNNEWS.COM/IMAN SURYANTO
Dusun Gadingan di Kecamatan Cangkringan, Sleman hancur lebur. Seluruh rumah penduduk luluh lantak ditelan wedus gembel. Material Merapi pun kini menimbun kampung yang dulunya hijau.

TRIBUNNEWS.COM -- Amukan dahsyat gunung Merapi sejak 26 Oktober 2010 hingga hari-hari ini masih menyisakan seribu satu kisah. Seperti keping mata uang, selalu ada cerita suka ada duka, ada kisah senang juga yang menyusahkan.

Kejutan juga terjadi ketika erupsi Merapi kali ini menghasilkan ledakan hebat, sesuatu yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah modern bangsa ini. Di balik kedahsyatan alam ini, muncul orang-orang yang bekerja tanpa pamrih, bertaruh nyawa, dan berjibaku dalam kesunyian.

Wilayah jelajah Mbah Tono cukup luas. Titik terluar di lereng selatan yang bisa ia jangkau adalah di Kaliadem. Jarak ke puncak Merapi dari titik ini kurang dari 5 kilometer. Kaliadem kini telah musnah, bersamaan hancurnya permukiman Kinahrejo, tempat sang legendaris Mbah Marijan tinggal.

Meski tak pernah mengungkapkan secara terbuka ke keluarga dan teman-temannya, hati kecil Mbah Tono kadang juga jeri. "Kondisi fisik Merapi saat ini hampir 80 persen berubah. Saya pun waswas saat memantau. Namun bagaimana lagi, ini sudah panggilan jiwa saya" ujar duda satu putri ini. Istrinya meninggal beberapa tahun lalu.

Setelah erupsi beruntun sejak 26 Oktober, semburan awan panas Merapi ke selatan dan tenggara praktis sudah tidak ada penghalang. Jurang dan jalur lava dari puncak Merapi sudah dipenuhi material vulkanik. "Material-material tersebut dapat meluncur bebas seperti lewat jalan tol," kata Mbah Tono.

Ucapan Mbah Tono ini persis dengan istilah yang dipakai Mbah Rono, sebutan baru Kepala PVMBG Dr Surono, ketika menjelaskan kondisi sektor selatan dan tenggara Merapi pascaletusan dahsyat berpuncak 4-5 November 2010. Mbah Tono tahu betul wilayah lereng Merapi karena ia sudah bertahun-tahun menyelami lekuk liku gunung itu.

Sejak tahun 1980-an ia aktif di kegiatan pecinta alam, sering naik gunung, dan ikut pemetaan gunung Merapi. "Untuk medan Merapi saya sudah hapal, termasuk bentuk fisiknya. Maka setiap saya memantau, saya memilih sendiri untuk jaga-jaga. Jika terjadi apa-apa, saya bisa lari lebih cepat" ujarnya.

Selain itu, Mbah Tono juga ikut ambil bagian dalam pemetaan areal bencana, termasuk penyusunan jalur evakuasi. "Saya tidak melakukan evakuasi, namun saya hanya berperan sebagai pembuka jalur, serta mencari para korban yang masih tertinggal di lokasi baru berikutnya. Saya melaporkan kepada tim SAR untuk dievakuasi setelah saya petakan lokasinya" ujarnya.

Pegawai perusahaan swasta di Jalan Kaliurang tersebut menyokong aktivitasnya dengan dana sendiri. "Meskipun atas biaya sendiri, saya ikhlas terpanggil melakukan semua ini" ujar pria yang memiliki seorang putri yang saat ini duduk di kelas 3 SMP.

Hampir semua peralatan komunikasi ia beli atau perbaiki sendiri. "Saya tidak pernah meminta bantuan pihak manapun, baik pemerintah maupun pihak-pihak lain. Saya melakukannya dengan tulus, karena tanggung jawab saya sebagai warga lereng Merapi," tuturnya.

Ia juga memiliki antena pemancar atau repeater. "Waktu Merapi meletus besar 5 November itu, repeater saya ini yang digunakan untuk sementara, karena pemancar di Balerante rusak," bebernya. Antena itu memiliki kekuatan pancar puluhan hingga ratusan kilometer.

Ia memperoleh keahlian rakit-merakit alat elektronik secara otodidak. Sumber pengetahuannya adalah saran-saran dari teman-teman sesama breaker. “Saya coba-coba bikin, terus saya kasih liat teman-teman, kalau ada yang salah pasti dikasih tahu mereka” tukasnya.


Kreatifitas lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) juga memakan korban. Beberapa alat gagal berfungsi karena terbakar. “Ini beberapa alat korban solder” ucap Mbah Tono sembari terkekeh. Bukan saja alat-alatnya, dirinya juga pernah terbakar solder.


“Kalau sudah asyik, saya suka lupa letak solder, pernah saya duduki, pernah juga saya kempit  karena saya kira obeng” ucap bapak satu anak itu. Mbah Tono kini dipercaya tetangga-tetangganya. Bahkan rumahnya kerap jadi titik kumpul guna mengetahui perkembangan terakhir Merapi karena ia memegang alat komunikasi dan punya banyak teman.


Karena begitu pentingnya peranti komunikasi itu, Mbah Tono prihatin terhadap ulah segelintir orang yang kerap mengganggu frekuensi radio komunitasnya. Namun ia mencoba tenang dan tidak terusik. "Saya tidak pernah menanggapi gangguan-gangguan tersebut. Saya berpikiran positif saja" ujarnya. Menurutnya, gangguan itu bisa disebabkan tiga hal.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved