Selasa, 7 Oktober 2025

Bukan Saat SD, Krusialnya Tumbuh Kembang Anak Berada di Usia Ini

ECED Indonesia dan Tanoto Foundation ajak semua pihak wujudkan ekosistem PAUD ideal, tidak harus mahal, tapi berkualitas.

Editor: Content Writer
Dok. Tanoto Foundation
ANAK USIA DINI - Ilustrasi anak usia dini mendapat stimulasi dari orang tua (Dok. Tanoto Foundation) 

TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah riset tentang otak menunjukkan bahwa fondasi penting dalam kehidupan manusia bukan lagi berada di usia sekolah dasar. Periode awal individu yakni di umur 1-5 tahun justru menjadi fase vital dalam tumbuh kembang manusia.

Untuk itu, ekosistem pendidikan anak usia dini yang ideal harus diupayakan seoptimal mungkin dan didukung oleh semua pihak. 

Ketua Early Childhood Education and Development (ECED) Indonesia sekaligus Rektor Universitas YARSI, Prof. Fasli Jalal menjelaskan dalam studi selama 30 tahun terakhir, perkembangan otak manusia dapat dipetakan secara jelas.  

Dari studi tersebut terlihat bahwa tumbuh kembang manusia ditentukan oleh kesiapan otak yang dibangun sejak dalam kandungan, tepatnya pada minggu keempat kehamilan sang ibu. 

“Ketika proses itu, kecepatan pembentukan sel saraf mencapai 250 ribu sel per detik. Kalau ada gangguan pada ibu atau lingkungannya, jumlahnya tinggal 70-80 persen saja. Kalau (perkembangan otak) ini kuat, didukung gizi dan ekosistem yang baik, anak yang lahir memiliki 100 miliar sel otak. Ini potensi luar biasa,” papar Fasli.

Proses perkembangan otak yang optimal berlangsung pada 1.000 hari pertama setelah dilahirkan. Namun tumbuh kembang anak secara utuh juga ditentukan berbagai dukungan, antara lain asupan gizi, dukungan kesehatan, pola pengasuhan, pendidikan, hingga perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan. 

“Mudah-mudahan 73 juta keluarga di Indonesia bisa memahami hal ini,” ujar Fasli.

Di masa tumbuh kembang ini,  kebutuhan anak harus dipenuhi secara holistik. Namun yang tak kalah penting, bukan hanya dipenuhi nutrisi dan gizinya untuk mendukung kebutuhan fisik, seorang anak usia dini juga mesti diberi stimulasi dan interaksi yang memacu tumbuh kembang aspek motorik, kognitif, bahasa, dan sosio-emosionalnya. 

Fasli kembali menunjukkan studi bahwa seorang anak yang terus diberi stimulasi oleh orang tuanya, kendati ia kekurangan asupan makanan bergizi, anak tersebut dapat tumbuh mendekati normal. Kondisi ini biasanya dialami keluarga yang berada di garis kemiskinan. 

“Di tengah keterbatasan, orang tua yang mengerti prinsip-prinsip stimulasi, kecerdasan  anak dapat dilejitkan meski berat badannya rendah atau mengalami stunting,” kata Fasli yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2013-2015. 

Maklum saja, banyak orang tua belum memahami prinsip-prinsip stimulasi pada anak usia dini. Hal ini bahkan mesti diberikan sejak anak dalam kandungan saat indera-inderanya mulai terbentuk. Misalnya mulai mengajak bayi berbicara untuk merangsang indera pendengarannya. 

Setelah bayi lahir, stimulasi indera penglihatan dan perabaan dapat dilakukan dengan mengenalkan warna dan bentuk.  Anak juga dikenalkan makanan yang sehat untuk melatih indera pengecap.

Merujuk pada sebuah riset, Fasli mengungkap banyak-sedikitnya kosakata yang dikuasai seorang anak dengan rentang 3.000 hingga 30.000 kata tergantung dari stimulasi orang tuanya yang mengajak si anak berbicara.  

“Otak anak seperti  gabus. Kalau gabus asli, air seember pun akan terserap. Kalau gabusnya KW (palsu), segelas saja sudah tumpah. Jika bagus gizi, pendidikan , perlindungan, dan pengisian pengetahuannya, otak anak bisa cemerlang. Tak ada istilah cukup untuk menstimulasi anak,” ujarnya. 

Baca juga: Tanoto Foundation dan Gates Foundation Bekerja Sama Tingkatkan Kesehatan, Gizi, & Pendidikan di Asia

PAUD Ideal Tak Harus Mahal

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved