Gelar Webinar AI Nasional, ITB Soroti Tantangan Etika dan Pendidikan di Era Kecerdasan Buatan
Teknologi termasuk AI tidak bersifat netral dan harus dikembangkan secara bertanggung jawab
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
Editor:
Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila dan Hari Orang Tua Sedunia, Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) menggelar webinar nasional bertajuk Humanizing Artificial Intelligence: Peta dan Masa Depan Ekosistem Kecerdasan Artifisial Indonesia, Sabtu (31/5/2025).
Kegiatan ini mempertemukan para pemangku kepentingan dari berbagai kalangan—akademisi, pelaku industri, komunitas teknologi, hingga organisasi masyarakat sipil—untuk membahas arah pengembangan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia, dengan menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan sebagai fondasi utama.
Dekan STEI ITB, Dr. Tutun Juhana, S.T., M.T., dalam sambutannya menegaskan bahwa teknologi, termasuk AI, tidak bersifat netral dan harus dikembangkan secara bertanggung jawab.
“Teknologi tidak netral. Kita bertanggung jawab memastikan AI berpihak pada kemanusiaan. Mari jadikan AI sebagai alat untuk memperkuat martabat manusia,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor dalam membangun ekosistem AI yang beretika dan inklusif.
Baca juga: Peluang Pemanfaatan Kecerdasan Buatan di Sektor Industri Dinilai Masih Menjanjikan
Fokus pada Pendidikan: Etika dan Berpikir Kritis
Salah satu sesi yang menjadi sorotan adalah Panel 3: AI Education Essentials: Ethics and Critical Thinking as Foundation.
Sesi ini membahas dampak kecerdasan buatan terhadap dunia pendidikan, serta pentingnya literasi AI yang berbasis pada etika dan kemampuan berpikir kritis.
Panel ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, yaitu Henke Yunkins (Direktur Regulasi dan Etika IAIS), Diena Haryana (Founder SEJIWA Foundation), Andy Ardian (Koordinator Nasional ECPAT Indonesia), dan Narenda Wicaksono (CEO Dicoding). Diskusi dipandu oleh moderator Sumardiansyah Perdana Kusuma dari PGRI.
Henke Yunkins mengingatkan bahwa kecerdasan buatan tidak selalu menyampaikan kebenaran.
“AI sering kali terdengar meyakinkan, padahal bisa saja keliru. Literasi AI harus dibangun di atas etika dan kemampuan berpikir kritis. Kita harus memahami proses di balik output AI dan dampaknya bagi masyarakat,” tegasnya.
Andy Ardian menyoroti risiko penyalahgunaan teknologi AI terhadap anak-anak, seperti pelanggaran privasi hingga paparan konten berbahaya berbasis deepfake.
Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan AI secara berlebihan bisa menghambat kemampuan berpikir kritis dan kreativitas generasi muda.
Narenda Wicaksono dari Dicoding menekankan pentingnya integrasi antara pendidikan dan kebutuhan industri.
“Kita butuh lulusan yang tidak hanya menguasai teknis, tetapi juga memiliki karakter, etika, dan daya pikir kritis,” ujarnya.
Sementara itu, Diena Haryana mengingatkan pentingnya kesiapan mental anak sebelum dikenalkan dengan AI.
“Anak-anak harus dibekali keterampilan hidup terlebih dahulu. Guru pun harus diberdayakan agar proses belajar tetap menyenangkan dan bermakna. Teknologi semestinya menjadi alat bantu, bukan pengganti eksplorasi dan proses tumbuh kembang anak,” jelasnya.
Cara Buat Foto AI Bareng Idola Realistis & Bikin Baper, Mode Polaroid Gemini AI + Prompt Gratis |
![]() |
---|
Erick Thohir Sebut Liga 2 Indonesia Satu-satunya di Asia yang Pakai VAR |
![]() |
---|
Daftar Negara yang Kebagian Fitur eSIM untuk iPhone 17 Pro, Apakah Indonesia Termasuk? |
![]() |
---|
Kembangkan Pusat Inovasi Regional, Awamio Gandeng Perusahaan Teknologi Malaysia |
![]() |
---|
Pergantian Menkeu Dinilai Tak Baik, Bisakah Purbaya Kelola Kebijakan Fiskal Warisan Sri Mulyani? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.