Volume Impor Mobil Listrik Melonjak, Kredibilitas Insentif Pemerintah Dipertanyakan
Lonjakan impor mobil listrik ini dinilai membuat Indonesia semakin bergantung pada produk mobil listrik rakitan luar negeri.
"Mereka invest berdarah-darah. Disebutkan dua pabrik yang sudah bangun itu kasihan juga. Itu juga membuat kita (Indonesia) juga secara kredibilitas kebijakannya nggak bisa dipercaya. Yang jelas kalau itu dilakukan, maksudnya terus diperpanjang, target produksi pasti nggak dapat," tuturnya.
Menurut Riyanto, produsen kendaraan listrik dalam negeri seharusnya bisa memperbesar skala ekonomi secara bertahap.
Baca juga: Kamar Dagang Detroit Minta Trump Batalkan Tarif Impor Mobil 25 Persen
Namun, jika pasar terus dibanjiri produk impor, peluang itu semakin sulit terwujud. Bahkan, produsen asing seperti Hyundai pun tidak hanya bermain di segmen atas, tetapi juga mencoba menguasai pasar yang lebih luas.
Hal ini dinilai tidak adil bagi produsen yang sudah lebih dulu berinvestasi membangun pabrik di Indonesia. Mereka membutuhkan dukungan kebijakan yang konsisten agar bisa bersaing sehat di pasar domestik.
"Mereka (produsen BEV lokal) skala ekonominya harus diperbesar, harusnya meningkat terus dari tahun ke tahun, tapi sekarang menurun produksinya. Jadi walaupun kalau Hyundai kan mau segmented, ngambil yang segmen atas gitu misalnya, tapi mereka juga ngambil semuanya ya bahkan sapu semua," jelasnya.
Menurutnya, persaingan harga masih bisa diterima selama dilakukan dengan cara-cara wajar, seperti memberikan diskon.
Tetapi, jika kebijakan justru lebih menguntungkan produk impor, hal itu akan semakin menyulitkan produsen lokal yang sudah menginvestasikan dana besar.
Persaingan tidak seimbang ini dikhawatirkan bisa menggerus minat investor dan memperlambat pertumbuhan industri kendaraan listrik nasional.
"Sebenarnya nggak fair aja sih menurut saya. Kalau perang harganya silahkan, misalnya ngasih diskon. Tapi mereka yang sudah investasi ini kan juga harus dapat perlakuan yang fair dong," ucap Riyanto.
Riyanto juga menyoroti keunggulan produk asal Tiongkok yang mampu menekan harga lebih rendah berkat rantai pasok yang terintegrasi dan skala produksi besar. Hal ini membuat BEV asal China semakin kompetitif dibandingkan produk lokal.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa keberadaan produsen asing tidak masalah selama seluruh pemain di pasar mendapatkan perlakuan yang sama dari sisi kebijakan.
"BEV Cina itu bisa murah begitu memang integrated rantai nilainya supply chainnya itu sama skala ekonominya juga lebih besar. Jadi bisa lebih murah."
"Pada intinya sih sebenarnya nggak apa-apa kalau fair artinya pemain yang di sini silahkan aja, ayo kita bangun pabrik bareng-bareng dapat perlakuan yang sama. Itu nggak apa-apa kalau menurut saya. Tapi kalau ternyata kayak gini kan orang jadi merasa tidak fair saja," ungkapnya.
Novita Hardini: Syuting Film di Indonesia Lebih Mahal dari New York dan Korea |
![]() |
---|
Update Insentif Motor Listrik, Masih Dibahas Antar-Kementerian |
![]() |
---|
Hati-hati Pemerintah Tak Pernah Minta Rekening untuk Pencairan Insentif dan BSU Guru 2025 |
![]() |
---|
Insentif Pajak Impor Mobil Listrik Berakhir Tahun Ini, Tidak Diperpanjang di 2026 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.