Kamis, 2 Oktober 2025

Volume Impor Mobil Listrik Melonjak, Kredibilitas Insentif Pemerintah Dipertanyakan

Lonjakan impor mobil listrik ini dinilai membuat Indonesia semakin bergantung pada produk mobil listrik rakitan luar negeri.

Penulis: Lita Febriani
Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/Lita
IMPOR EV MELONJAK - Diskusi 'Polemik Insentif BEV Impor' di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (25/8/2025). 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Insentif impor mobil listrik murni atau Battery Electric Vehicle (BEV) yang diberikan pemerintah akan berakhir pada 31 Desember 2025. Setelahnya pabrikan wajib memproduksi unit sebanyak yang mereka datangkan.

Insentif adalah bentuk penghargaan tambahan (berupa uang, barang, atau fasilitas lain) yang diberikan untuk memotivasi dan mendorong seseorang atau kelompok untuk meningkatkan kinerja, produktivitas, atau mencapai target tertentu.

Jika insentif impor mobil listrik (battery electric vehicle/BEV) diperpanjang, hal tersebut dinilai akan memberikan dampak besar bagi industri otomotif nasional.

Pengamat Otomotif sekaligus Peneliti LPEM FEB UI Riyanto mengatakan, kebijakan tersebut berpotensi membuat dominasi produk impor semakin kuat dan menghambat optimalisasi produksi kendaraan listrik di dalam negeri.

"Pasti BEV impornya akan naik. Sekarang impornya 63 persen BEV. Kalau di 2024 itu 40 persen, sekarang sudah di atas 60 persen," ujar Riyanto di acara diskusi Forum Wartawan Industri 'Polemik Insentif BEV Impor' di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (25/8/2025).

Lonjakan impor mobil listrik ini menurut dia menunjukkan Indonesia semakin bergantung pada produk mobil listrik rakitan luar negeri.

Di saat bersamaan, kapasitas produksi kendaraan listrik dalam negeri masih jauh dari optimal. Kondisi ini berisiko menciptakan ketidakseimbangan pasar yang mengorbankan produsen lokal.

Selain itu, dominasi impor juga membuat usaha pemerintah membangun ekosistem kendaraan listrik dalam negeri menjadi terhambat.

Ketika produk impor lebih banyak beredar, potensi pabrik-pabrik lokal untuk beroperasi penuh pun terancam tidak tercapai.

Sebagai informasi, target produksi mobil listrik pemerintah Indonesia berdasarkan Permenperin No. 6 Tahun 2022 adalah 400.000 unit per tahun pada 2025, 600.000 unit pada 2030 dan 1 juta unit pada 2040.

"Ke depan kalau terus begitu akhirnya ya BEV impornya akan dominan. Kalau BEV impornya dominan artinya yang produksi dalam negeri kapasitas terpasangnya nggak terpakai," jelas Riyanto.

Padahal, beberapa produsen otomotif sudah menggelontorkan investasi besar untuk mendirikan fasilitas produksi.

Jika kapasitas pabrik tidak terpakai maksimal, investasi tersebut berisiko tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan.

Baca juga: Insentif Pajak Impor Mobil Listrik Berakhir Tahun Ini, Tidak Diperpanjang di 2026

Dampak lainnya, kredibilitas kebijakan pemerintah juga dipertanyakan. Investor akan melihat adanya ketidakkonsistenan antara dukungan terhadap industri lokal dengan pemberian kemudahan bagi produk impor.

"Mereka invest berdarah-darah. Disebutkan dua pabrik yang sudah bangun itu kasihan juga. Itu juga membuat kita (Indonesia) juga secara kredibilitas kebijakannya nggak bisa dipercaya. Yang jelas kalau itu dilakukan, maksudnya terus diperpanjang, target produksi pasti nggak dapat," tuturnya.

Menurut Riyanto, produsen kendaraan listrik dalam negeri seharusnya bisa memperbesar skala ekonomi secara bertahap.

Baca juga: Kamar Dagang Detroit Minta Trump Batalkan Tarif Impor Mobil 25 Persen

Namun, jika pasar terus dibanjiri produk impor, peluang itu semakin sulit terwujud. Bahkan, produsen asing seperti Hyundai pun tidak hanya bermain di segmen atas, tetapi juga mencoba menguasai pasar yang lebih luas.

Hal ini dinilai tidak adil bagi produsen yang sudah lebih dulu berinvestasi membangun pabrik di Indonesia. Mereka membutuhkan dukungan kebijakan yang konsisten agar bisa bersaing sehat di pasar domestik.

"Mereka (produsen BEV lokal) skala ekonominya harus diperbesar, harusnya meningkat terus dari tahun ke tahun, tapi sekarang menurun produksinya. Jadi walaupun kalau Hyundai kan mau segmented, ngambil yang segmen atas gitu misalnya, tapi mereka juga ngambil semuanya ya bahkan sapu semua," jelasnya.

Menurutnya, persaingan harga masih bisa diterima selama dilakukan dengan cara-cara wajar, seperti memberikan diskon.

Tetapi, jika kebijakan justru lebih menguntungkan produk impor, hal itu akan semakin menyulitkan produsen lokal yang sudah menginvestasikan dana besar.

Persaingan tidak seimbang ini dikhawatirkan bisa menggerus minat investor dan memperlambat pertumbuhan industri kendaraan listrik nasional.

"Sebenarnya nggak fair aja sih menurut saya. Kalau perang harganya silahkan, misalnya ngasih diskon. Tapi mereka yang sudah investasi ini kan juga harus dapat perlakuan yang fair dong," ucap Riyanto.

Riyanto juga menyoroti keunggulan produk asal Tiongkok yang mampu menekan harga lebih rendah berkat rantai pasok yang terintegrasi dan skala produksi besar. Hal ini membuat BEV asal China semakin kompetitif dibandingkan produk lokal.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa keberadaan produsen asing tidak masalah selama seluruh pemain di pasar mendapatkan perlakuan yang sama dari sisi kebijakan.

"BEV Cina itu bisa murah begitu memang integrated rantai nilainya supply chainnya itu sama skala ekonominya juga lebih besar. Jadi bisa lebih murah."

"Pada intinya sih sebenarnya nggak apa-apa kalau fair artinya pemain yang di sini silahkan aja, ayo kita bangun pabrik bareng-bareng dapat perlakuan yang sama. Itu nggak apa-apa kalau menurut saya. Tapi kalau ternyata kayak gini kan orang jadi merasa tidak fair saja," ungkapnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved