Minggu, 5 Oktober 2025

HUT TNI

HUT ke-80 TNI, Koalisi Sipil: Reformasi Militer Terancam Jadi Slogan Kosong

Panglima TNI diminta mengembalikan militer ke tugas utamanya menjaga pertahanan negara, bukan mengurus hal di luar mandat konstitusional.

Danang/Tribunnews
KRITIK TNI - Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari KontraS, Imparsial, YLBHI, Amnesty Internasional, DeJure, KPI, Centra Initiative, HRWG, dan Rakhsa Initiative, di Kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Sabtu (4/10/2025) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengingatkan bahwa tidak akan ada demokrasi tanpa supremasi sipil, serta tak akan ada keadilan tanpa akuntabilitas militer. Pernyataan ini disampaikan koalisi, menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 TNI yang jatuh pada Minggu, 5 Oktober 2025.

“Tidak akan ada demokrasi tanpa supremasi sipil. Tidak akan ada keadilan tanpa akuntabilitas militer,” kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Sabtu (4/10/2025).

Perihal ini koalisi meminta Panglima TNI untuk mengembalikan militer ke tugas utamanya menjaga pertahanan negara, bukan mengurus hal di luar mandat konstitusional.

Baca juga: Menhan Sjafrie Sjamsoeddin Pimpin Kirab di Monas, Agenda Penutup Doa Bersama Jelang HUT ke-80 TNI

Menurut koalisi sipil, praktik multifungsi TNI dalam urusan sipil harus dihentikan total. Sebab praktik multifungsi TNI bukan cuma berbahaya bagi demokrasi tapi juga merusak profesionalisme TNI itu sendiri. 

Koalisi juga memandang multifungsi TNI justru membuka ruang penyalahgunaan kewenangan yang berkaitan langsung dengan tindakan represif terhadap masyarakat sipil.

Penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil, seperti pengangkatan Sekretaris Kabinet dan Direktur Utama Bulog, perpanjangan usia pensiun perwira bintang dalam UU TNI yang baru, serta pembentukan 6 Kodam baru, merupakan langkah-langkah yang mengembalikan TNI tidak hanya pada praktik dwifungsi, namun multifungsi peran militer ke dalam ranah sipil. 

“Semua kebijakan ini bukan hanya melanggar hukum yang berlaku, tetapi juga mengancam supremasi sipil dan membahayakan demokrasi,” kata Dimas.

Koalisi sipil juga melihat pembentukan 6 kodam baru secara khusus memperlihatkan adanya niat penguatan Komando Teritorial yang sejatinya merupakan warisan Orde Baru.

Padahal amanat Reformasi 1998 justru menghendaki restrukturisasi dan pengurangan Komando Teritorial karena keberadaannya lebih berfungsi sebagai alat kontrol politik ketimbang pertahanan. 

“Penambahan Kodam hanya akan memboroskan anggaran, memperlemah akuntabilitas sipil, dan membuka ruang bagi militer untuk kembali masuk dalam kehidupan sosial-politik masyarakat,” terang Dimas.

Lebih lanjut, koalisi sipil memandang ancaman terhadap demokrasi juga datang dari RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) di mana diakomodasinya TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d.

Ketentuan ini juga dinilai bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa tugas TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Dalam UUD 1945, TNI tidak punya tugas dan fungsi sebagai penegak hukum.

“Keterlibatan militer dalam penyidikan pidana siber mencederai prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis. Perumusan pasal di atas menjadi indikasi semakin menguatnya upaya militerisasi ruang siber, yang langkah-langkah sistematisnya terlihat semenjak revisi UU TNI, dengan penambahan tugas operasi militer selain perang,” kata Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra.

Menurutnya penambahan tugas ini menjadi problematis dengan ketidakjelasan gradasi ancaman.

Kondisi ini memberi ruang bagi militer terlibat dalam semua tingkatan penanganan ancaman keamanan siber, tak terbatas pada aspek perang siber.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved