Program Makan Bergizi Gratis
Unsur HAM Program MBG Versi Natalius Pigai dan Dosen UGM, Kritik Tajam Herlambang
Beda dengan Menteri HAM Natalius Pigai, dosen hukum UGM Herlambang Wiratraman sebut program MBG merupakan bentuk pelanggaran HAM
TRIBUNNEWS.COM - Peristiwa keracunan massal yang melanda siswa sekolah di berbagai penjuru Tanah Air menjadi sorotan hingga timbul narasi sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun Menteri HAM, Natalius Pigai menampiknya sebagai pelanggaran HAM.
Baginya, unsur pelanggaran HAM terpenuhi jika insiden keracunan sengaja dibiarkan terjadi dan direncanakan.
Pandangan tersebut berbeda dengan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Wiratraman.
Menurutnya, program MBG merupakan bentuk pelanggaran HAM karena program ini justru mengorbankan hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Klaim Natalius Pigai
Menteri Pigai mengklaim pelaksanaan program MBG 99,99 persen berhasil, dengan deviasi atau penyimpangan sebesar 0,0017 persen.
Hal itu, katanya, berdasarkan hasil pemantauan 33 kantor wilayah Kementerian HAM yang melihat langsung pelaksanaan MBG di masing-masing daerah.
Adapun, menurut Pigai, pihaknya mencatat penyimpangan atau kendala terletak pada pelaksanaan produksi dan distribusi serta kurangnya pengawasan.
"Kriteria HAM itu kan harus by design, by ommissin atau by commission. Ini kan 0,0017 persen ini menurut saya memang ada (keracunan). Ada 1-2 ada," kata Pigai dalam konferensi pers di kantor Kementerian HAM, Rabu (1/10/2025).
"Misalnya satu tempat, satu sekolah yang masaknya mungkin salah karena kurang terampil, mungkin basi makanannya, kan itu tidak bisa dijadikan sebagai pelanggaran HAM kan," sambungnya.
Baca juga: Natalius Pigai: Keracunan Massal MBG Tak Masuk Kriteria Pelanggaran HAM
Ia menilai penyimpangan yang terjadi dalam kasus MBG berasal dari permasalahan fungsi administrasi dan manajemen.
"Bisa saja karena human error kan, kesalahan masak, kesalahan mungkin makanannya penyimpanannya kurang. Itu sebenarnya adalah pelaksanaan daripada fungsi administrasi dan manajemen," jelasnya.
Di sisi lain, menurut Pigai, kelalaian administrasi dan manajemen jauh dari aspek pelanggaran HAM.
"Karena administrasi dan manajemen itu dalam konteks HAM adalah meminta perbaikan," tuturnya.
"Kan administrasi dan manajemen tidak bisa dipidana," paparnya.
Dosen UGM
Herlambang menyampaikan kritik tajam terhadap program MBG yang ia anggap sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Demikian ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), disiarkan YouTube Mahkamah Konstitusi pada 11 September 2025.
Sidang tersebut terdaftar dalam Sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 yakni dengan agenda mendengar keterangan DPR serta ahli dan saksi pemohon.
Tepatnya mengenai Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi undang-undang.

"Tidak ada hari ini yang mengatakan MBG melanggar hak asasi manusia. Enggak ada. Semua percaya MBG adalah realisasi dari right to. No," ucapnya.
Namun, kata dia, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Program ini, yang diklaim sebagai realisasi hak atas pangan (right to food), justru mengorbankan hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Baca juga: Dianggap Tambah Beban, Mendikdasmen Sebut Insentif Guru dalam MBG Bakal Diatur Perpres
Herlambang menyoroti ketidakadilan ini dengan menekankan bahwa MBG bukan solusi inklusif, melainkan pengurasan sumber daya anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara Indonesia hingga tingkat perguruan tinggi, sehingga mahasiswa tidak perlu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).
"Kenapa bukan pendidikan gratis untuk seluruh warga negara Indonesia? Kenapa harus MBG? Kenapa MBG menguras sumber daya ekonomi? anggaran terutama yang tidak pernah dialokasikan untuk pendidikan gratis sampai perguruan tinggi sehingga mahasiswa enggak ada perlu bayar UKT," tegas dia.
Lanjut Herlambang, banyak orang tua yang mengeluh tidak mampu membiayai sekolah anak-anak mereka, dan keluhan ini mudah ditemukan di media sosial.
Alih-alih memperbaiki akses pendidikan, MBG menurutnya justru menyebabkan pemindahan anggaran yang mengurangi fasilitas pendidikan dan kesehatan.
"Gara-gara MBG karena anggarannya pindah, fasilitas pendidikan berkurang, fasilitas kesehatan berkurang."
Pelanggaran ini dapat ditelusuri melalui konsep progressive realization dalam kerangka HAM, yang diatur dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
Kata kunci di sini adalah "pemajuan", yang harus ditafsirkan sesuai Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).
Pemajuan berarti pengembangan bertahap hak-hak HAM dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia (maximizing available resources), melalui langkah-langkah progresif dan ukuran legislatif yang tepat.
Konsep progressive realization menjadi kunci dalam pembangunan Indonesia karena sumber daya anggaran negara memang terbatas.
Tidak mungkin mencapai kesejahteraan instan untuk semua; oleh karena itu, diperlukan tahapan bertahap yang mengambil langkah-langkah (taking steps) secara bertahap.
"Progressive realization itu di mana sih letaknya dalam Undang-Undang Dasar pasal 28i ayat 4. Di situ ada kata, satu kata penting, pemajuan. Gimana cara menafsir pasal pemajuan di dalam Undang-Undang Dasar itu? Caranya adalah pasal 2 ayat 1 kovenan internasional hak ekonomi Sosial Budaya di mana pemajuan itu maksud yang ada adalah dikaitkan dengan progressive realization," katamya.
Namun, implementasi MBG sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) justru bertentangan dengan prinsip ini.
Program ini langsung mengalokasikan anggaran besar-besaran tanpa mempertimbangkan prioritas bertahap, sehingga melanggar prinsip indivisibility HAM—di mana satu hak tidak boleh mengorbankan hak lainnya.
MBG bukan hanya gagal merealisasikan right to food, tetapi juga menyingkirkan right to education dan right to health.
"Nah, ini juga tidak tepat. Nah, progressive realization itu sehingga membuat saya mengatakan MBG itu bukan soal right to food. No, dia justru menyingkirkan right to education, dia juga menyingkirkan right to health, kesehatan dan seterusnya," paparnya.
Studi ekonomi, termasuk penelitian terkini di Yogyakarta tentang tata kelola MBG yang masif, menunjukkan bahwa program ini justru membelenggu rakyat kecil dengan mengurangi akses layanan dasar.
Herlambang menekankan bahwa MBG tidak merujuk pada konsep bertahap yang benar, melainkan membatasi atau mengurangi hak-hak lain tanpa memaksimalkan sumber daya secara efisien.
Lantas dirinya mengutip tafsir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada halaman 11 dokumen yang disebutkannya, bahkan negara dengan sumber daya terbatas wajib memperkenalkan program berbiaya rendah dan terarah untuk kelompok paling rentan.
Sumber daya yang ada harus digunakan secara efisien dan efektif, bukan dialihkan secara sepihak ke MBG yang mengorbankan kepentingan layanan dasar seperti pendidikan dan sanitasi.
Contohnya, diskusi tentang sanitasi yang muncul dalam persidangan menunjukkan bagaimana prioritas sempit seperti MBG menghambat kemajuan holistik.
"Kenapa saya bilang melanggar hak asasi manusia? Kembali ke konsep yang saya tulis, progressive realizations. Karena terbatas maka perlu tahapan. Enggak mungkin langsung semua dibikin sejahtera. Enggak mungkin. Saya juga sadar itu. Maka konstruksi hukum hak asasi manusia mengatakan, 'Bertahaplah taking steps, ambil langkah-langkah, maximizing available resources, memaksimalkan sumber daya dengan cara progresif maju dengan legislative measures.'"
Pada akhirnya, Herlambang memperingatkan bahwa tata kelola MBG yang buruk tidak hanya gagal memenuhi standar HAM internasional, tetapi juga mencelakakan rakyat.
Program ini, dengan diksi yang tepat disebut "menyingkirkan" atau "membelakangkan" hak-hak lain, menunjukkan ketidaksesuaian dengan semangat konstitusi.
Ia menambahkan, sekalipun suatu negara jelas-jelas memiliki sumber daya yang tidak memadai, kita tahu terbatas anggarannya, negara tersebut tetap harus memperkenalkan program-program berbiaya rendah dan terarah untuk membantu mereka yang paling membutuhkan sehingga sumber daya yang terbatas dapat digunakan secara efisien dan efektif.
Baca juga: Prof Sulfikar Amir Sebut Program MBG Prabowo Oversize: Harusnya Targeted, Enggak Semua Orang Butuh
"Progressive relation itu begitu cara berpikirnya. Ini konsep HAM. Enggak ada ceritanya justru teralokasi dana-dana MBG justru teralihkan ee mengalihkan maaf mengalihkan anggaran-anggaran yang juga punya kepentingan layanan dasar yang lain."
Untuk mencapai pemajuan sejati, Indonesia perlu kembali ke prinsip progressive realization: bertahap, inklusif, dan berbasis keadilan, bukan proyek ambisius yang mengorbankan fondasi HAM dasar. Penelitian lanjutan tentang "military free nutritious millal governance" yang disebutkannya diharapkan segera tersedia untuk memperkuat argumen ini, mendorong perdebatan yang lebih sungguh-sungguh tentang pembangunan berkelanjutan.
Data BGN soal Keracunan MBG
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan sebanyak 6.517 orang mengalami keracunan makan bergizi gratis (MBG) sejak program tersebut diluncurkan pada Januari 2025.
Data itu, kata Dadan, dihimpun sejak Januari sampai akhir September 2025.
Dadan mengatakan keracunan terbanyak terjadi di Pulau Jawa sebanyak 45 kasus.
Adapun sebanyak tiga wilayah pemantauan MBG, di antaranya wilayah 1 di Pulau Sumatera, wilayah II Pulau Jawa, dan wilayah III untuk Indonesia bagian timur.
"Kalau dilihat dari sebaran kasus, maka kita lihat bahwa di wilayah I itu tercatat ada yang mengalami gangguan pencernaan sejumlah 1.307, wilayah II ini sudah bertambah tidak lagi 4.147 ditambah dengan yang di Garut mungkin 60 orang, wilayah III ada 1.003 orang," kata Dadan dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
Dadan mengatakan temuan kasus keracunan meningkat di dua bulan terakhir.

Penyebabnya antara lain ada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedure).
"Seperti contohnya pemilihan bahan baku yang seharusnya H-2 kemudian ada yang membeli H-4, kemudian juga ada yang kita tetapkan processing masak sampai delivery tidak lebih dari 6 jam karena optimalnya di 4 jam seperti di Bandung itu, ada yang masak dari jam 9 dan kemudian di delivery-nya ada yang sampai jam 12 ada yang 12 jam lebih," kata dia.
Dadan menyebut SPPG yang tak sesuai dengan prosedur akan ditindak dan ditutup sementara.
"Jadi dari hal-hal seperti itu kemudian kita berikan tindakan bagi SPPG yang tidak mematuhi SOP dan juga menimbulkan kegaduhan kita tutup sementara, sampai semua proses yang dilakukan dan kemudian mereka juga harus mulai mitigasi," pungkas Dadan.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Ibriza Fasti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.