Sabtu, 4 Oktober 2025

Program Makan Bergizi Gratis

Psikolog Sebut Anak-anak Bisa Phobia Buntut Keracunan MBG yang Terus Berulang: Dengar Kata MBG Stres

Psikolog mengatakan jika kasus keracunan MBG ini terus berulang, hal tersebut akan menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak yakni kecemasan.

Penulis: Rifqah
Tribun Jabar/Gani Kurniawan
KERACUNAN MBG - Foto pelajar korban keracunan Makanan Bergizi Gratis (MBG) dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (25/9/2025). (TRIBUN JABAR/GANI KIRNIAWAN). Psikolog mengatakan jika kasus keracunan MBG ini terus berulang, hal tersebut akan menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak yakni kecemasan. 

TRIBUNNEWS.COM - Psikolog Unisa Yogyakarta, Ratna Yunita, membeberkan dampak jangka panjang untuk anak-anak korban keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terus berulang.

Sejak Januari 2025 hingga September 2025, sejumlah kasus keracunan massal MBG dilaporkan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Dari data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), per 27 September 2025, tercatat ada sebanyak 8.649 anak yang menjadi korban keracunan program andalan Presiden Prabowo Subianto tersebut.

Ratna pun tidak memungkiri program MBG ini pastilah ada pro dan kontra karena merupakan program baru yang menyasar ke seluruh wilayah Indonesia, sehingga masih perlu adaptasi.

Kendati demikian, sebagai seorang Psikolog, dia juga menegaskan akan dampak ke depannya imbas melonjaknya kasus keracunan MBG itu, terutama pada anak-anak sebagai penerima manfaat.

Apalagi, kata Ratna, jika kasus keracunan MBG ini terus berulang, hal tersebut akan menimbulkan dampak psikologis bagi anak-anak yakni kecemasan.

"Kalau jangka panjangnya (dampak), kalau ini terjadi berulang, saya mengkhawatirkan bahwa akan terjadi yang namanya kecemasan, cemas itu seperti warning dalam diri kita, jadi kalau misalnya udah kejadian, besok lagi kan ada semacam alarm dalam diri kita," katanya dalam wawancara eksklusif Tribunnews di program Overview, Rabu (1/10/2025).

"Kalau ternyata besok itu terjadi hal yang sama dan ternyata mungkin bukan hanya masalah keracunan, tetapi menunya kurang disukai mereka, bagi satu kelas pun mungkin ada yang alergi, dan apakah itu juga terdeteksi? Itu yang perlu mendapat perhatian," tambahnya.

Lebih lanjut, Ratna kemudian menjelaskan, kecemasan berulang itu nantinya bisa menjadi phobia atau fobia, yakni kondisi psikologis berupa rasa takut yang berlebihan dan tidak rasional terhadap suatu objek, situasi, atau aktivitas tertentu.

Bahkan, bisa saja ketika mendengar kata-kata MBG ini anak-anak menjadi stres yang nantinya dikhawatirkan akan menjadi trauma.

"Ketika kecemasan itu berulang, maka ini akan menjadi suatu hal yang kalau dalam Psikologi kita kenal dengan istilah fobia, kalau udah fobia, denger kata-kata makanan MBG dan lain sebagainya ada stressor-nya di situ, ada trigger-nya di situ, itu yang dikhawatirkan nantinya akan menjadi trauma (kepada anak-anak)," ucap Ratna.

Baca juga: Menkes Budi Gunadi Ungkap 3 Penyebab Umum Kasus Keracunan MBG

Ratna pun menjelaskan alasan adanya kemungkinan anak-anak menjadi fobia imbas kasus keracunan MBG ini karena dalam memaknai sesuatu, anak-anak, terutama yang masih di tingkat SD, belum mempunyai pengalaman banyak.

"Karena mekanisme mereka untuk memaknai sesuatu itu memerlukan pengalaman, sementara proses dalam mencerna sesuatu dari level SD, SMP, dan SMA itu berbeda," katanya.

"Anak-anak itu kan (SD) pengalaman mereka dalam mencerna sesuatu itu hanya pada saat itu saja. Kalau kita orang dewasa, ketika mengalami sesuatu, apalagi itu sesuatu yang membuat kita kurang nyaman, kita akan mudah untuk mencerna karena sudah banyak pengalaman."

"Tapi yang terjadi pada anak-anak ini kan, mereka begitu terjadi sesuatu, mereka kaget dan kekagetan itu yang memunculkan akhirnya mereka mengalami 'oh, aku besok nggak mau lagi', dan anak-anak itu serunya adalah ketika mereka nggak mau lagi itu menular ke yang lain, apalagi anak-anak sekolah dasar yang masih polos," jelas Ratna.

Program MBG ini merupakan program makan siang gratis Indonesia yang dicetuskan pada masa pemerintahan Prabowo Subianto dan dirancang dengan tujuan untuk membangun sumber daya unggul, menurunkan angka stunting, menurunkan angka kemiskinan, dan menggerakkan ekonomi masyarakat.

Melalui program ini, Prabowo juga akan mewujudkan  visi Indonesia Emas 2045 yang menargetkan terciptanya generasi emas dari bonus demografi, yang mampu membawa Indonesia menjadi negara maju.

Program ini mulai digulirkan sejak tanggal 6 Januari 2025 di 26 provinsi Indonesia dengan menargetkan siswa-siswi PAUD hingga SMA serta ibu hamil dan menyusui, dengan harapan dapat memberikan manfaat kepada 82,9 juta penerima.

Namun, sejak Januari 2025, muncul sejumlah kasus keracunan massal yang dilaporkan terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan diduga karena menu MBG yang diluncurkan di sekolah-sekolah.

Penyebab Keracunan Disebut Karena Dapur SPPG Lalai

Sebagai informasi, untuk saat ini, dapur SPPG yang bermasalah ditutup sementara karena banyaknya kasus keracunan MBG tersebut.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menyebut bahwa sebagian besar insiden keracunan tersebut terjadi akibat kelalaian Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) dalam mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan.

“Dengan kejadian-kejadian ini kita bisa lihat bahwa kasus banyak terjadi di dua bulan terakhir. Dan ini berkaitan dengan berbagai hal. Kita bisa identifikasi bahwa kejadian itu rata-rata karena SOP yang kita tetapkan tidak dipatuhi dengan seksama,” ujar Dadan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu.

Dadan kemudian menjelaskan bahwa pelanggaran SOP terjadi mulai dari tahap pembelian bahan baku hingga proses distribusi makanan. 

Ada ketidaksesuaian waktu pembelian bahan baku yang seharusnya dilakukan dua hari sebelum pengolahan (H-2), tetapi ditemukan ada yang melakukannya empat hari sebelumnya (H-4).

“Seperti contohnya pembelian bahan baku yang seharusnya H-2, kemudian ada yang membeli H-4. Kemudian juga ada yang kita tetapkan processing masak sampai delivery tidak lebih dari 6 jam, optimalnya 4 jam."

"Seperti di Bandung, itu ada yang memasak dari jam 9 dan kemudian delivery-nya ada yang sampai jam 12, bahkan ada yang lebih dari jam 12,” jelasnya.

Oleh karena itu, sebagai bentuk tindakan tegas, BGN memutuskan untuk menutup sementara operasional SPPG yang terbukti lalai dan menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Penutupan sementara ini tidak memiliki batas waktu yang pasti, durasinya akan bergantung pada seberapa cepat masing-masing SPPG mampu melakukan penyesuaian dan perbaikan internal, serta menunggu hasil investigasi yang sedang berjalan.

“Kita tutup sementara sampai semua proses perbaikan dilakukan. Penutupan bersifat sementara tersebut waktunya tidak terbatas, tergantung dari kecepatan SPPG dapat mampu melakukan penyesuaian diri dan juga menunggu hasil investigasi,” ucapnya.

Dadan juga menekankan bahwa dampak dari kasus keracunan MBG ini tidak hanya bersifat fisik. 

Dia meminta agar setiap SPPG juga mulai memikirkan dan menyiapkan langkah mitigasi terhadap dampak psikologis yang mungkin dialami oleh para penerima manfaat, terutama anak-anak.

“Mereka juga harus mulai memitigasi terkait trauma yang akan timbul pada penerima manfaat,” katanya.

(Tribunnews/Rifqah/Chaerul)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved