Rabu, 1 Oktober 2025

Tabungan Perumahan Rakyat

Komisi V DPR Hormati Putusan MK Soal Tapera, Dorong Alternatif Pendanaan Program 3 Juta Rumah

Wakil Ketua Komisi V DPR, Syaiful Huda menghormati putusan menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera bertentangan dengan UUD 1945

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/Chaerul Umam
TAPERA - Wakil Ketua Komisi V DPR Syaiful Huda di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (13/6/2024). Ia menghormati putusan menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera bertentangan dengan UUD 1945. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Syaiful Huda menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 

Putusan tersebut sekaligus membatalkan kewajiban seluruh pekerja untuk mengikuti program Tapera, sebagaimana diatur dalam beleid tersebut.

Berdasarkan Pasal 1, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020, Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat adalah penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah Kepesertaan berakhir.

Komisi V DPR RI memiliki lingkup tugas di bidang infrastruktur dan perhubungan.

Menurut Huda, putusan ini menjadi tantangan baru bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pemukiman dan Perumahan (PKP), untuk mencari skema pendanaan alternatif dalam mewujudkan program prioritas nasional pembangunan tiga juta rumah.

Baca juga: UU Tapera Dibatalkan, tapi ASN Serta TNI dan Polri Masih Wajib Bayar Iuran 

"Tentu ini menjadi pekerjaan rumah tambahan bagi Kementerian Pemukiman dan Perumahan (PKP) untuk mencari sumber pendanaan lain dalam percepatan realisasi program 3 juta rumah," kata Huda kepada Tribunnews.com, Senin (29/9/2025).

Politikus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut menyebut, kementerian saat ini tengah menyusun berbagai simulasi pendanaan demi memastikan target program tetap dapat dicapai

"Saat ini kami terus mendorong agar program tiga juta rumah bisa segera terealisasi. Agar backlog rumah yang lebih mencapai jutaan unit itu bisa dikurangi," ujar Huda.

Baca juga: MK Putuskan Semua Pasal di UU Tapera Inkonstitusional, Minta DPR Tata Ulang

Selain itu, kata legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat VII ang meliputi Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bekasi tersebut, program tiga juta rumah berpotensi mengerakkan ekonomi karena bisa menciptakan multiplier effect, mulai dari penyerapan tenaga kerja, bergeraknya sektor UMKM, hingga bergulirnya sektor logistik bangunan. 

"Jadi kami menilai program tiga juta tidak boleh hanya dimaknai sebagai sekadar memenuhi backlog rumah di Indonesia tapi ikhtiar untuk menggulirkan perekonomian masyarakat," ucap Huda.

Dalam sidang pembacaan putusan perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, Senin (29/9/2025), MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila belum dilakukan penataan ulang sebagaimana diamanatkan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

“Menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188,” sambungnya.

Untuk diketahui, skema Tapera awalnya hanya untuk pegawai negeri yang dikelola pemerintah melalui Badan Pertimbangan Tabungan PNS atau Bapertarum PNS.

Tetapi dengan lahirnya UU 4/2016 dan Peraturan Pemerintah 25/2020 juncto PP 21/2024, seluruh pekerja dan masyarakat mandiri diikutsertakan dalam penyediaan rumah tersebut.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan penerapan Tapera secara seragam tidak adil bagi semua pekerja.

“Bahwa di sisi lain, sifat 'wajib' dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 diberlakukan tanpa membedakan pekerja yang telah memiliki rumah atau belum. Kewajiban seragam bagi seluruh pekerja, termasuk mereka yang sebenarnya sudah memiliki rumah atau masih mencicil rumah, menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional,” ujar Enny.

Meski demikian, Mahkamah menolak untuk sekadar mengubah kata "wajib" menjadi "dapat". Alasannya, perubahan itu justru akan merusak keseluruhan logika hukum UU Tapera.

“Apabila sifat 'wajib' tersebut berubah menjadi 'dapat', maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya. Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU 4/2016,” kata Enny.

Karena itu, MK menilai diperlukan penataan ulang menyeluruh terhadap desain Tapera, bukan sekadar revisi redaksional. Penataan ini harus mengacu pada Pasal 124 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Sebagai informasi, MK menggabung pemeriksaan tiga permohonan perkara pengujian materi UU Tapera. Tiga perkara dimaksud, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024.

Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, yang putusannya dikabulkan MK, diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Mereka mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera. Pasal 9 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved