Senin, 29 September 2025

KPA: Konflik Agraria Tak Perlu Aparat, Menteri Harus Turun

KPA: Petani tak butuh senjata, butuh solusi. Dewi Kartika minta menteri turun, bukan aparat bersenjata.

Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
KONFLIK AGRARIA - Audiensi antara pimpinan DPR RI, Pemerintah dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bertepatan dengan Hari Tani Nasional, di Ruang Rapat Komisi XIII DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025). KPA meminta TNI-Polri tak perlu terjun di konflik agraria yang terjadi di daerah-daerah. 

Ringkasan Utama

Dalam audiensi Hari Tani Nasional, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta agar konflik agraria tidak lagi ditangani oleh aparat TNI-Polri. Mereka menilai pendekatan keamanan memperburuk situasi dan menyerukan agar menteri dan lembaga sipil turun langsung ke lapangan. KPA juga mendesak Presiden Prabowo Subianto membentuk lembaga khusus reforma agraria yang bersifat ad hoc dan dipimpin langsung oleh kepala negara. Seruan ini muncul di tengah maraknya konflik agraria yang melibatkan warga dan aparat, seperti di Rempang, Wadas, dan Pulau Pari.

  
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menegaskan bahwa konflik agraria di Indonesia tidak seharusnya ditangani oleh aparat bersenjata.

Dalam audiensi dengan pimpinan DPR RI bertepatan dengan Hari Tani Nasional, Dewi meminta agar TNI dan Polri tidak lagi diturunkan ke lapangan.

“Kalau bisa, Pak Pimpinan DPR, kalau ada konflik agraria atau masyarakat mempertahankan tanahnya, yang diturunkan jangan Polisi dan TNI. Yang diturunkan itu adalah para menteri, perwakilan dari kementerian dan lembaga,” ujar Dewi dalam orasinya di Ruang Rapat Komisi XIII DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025).

Menurut Dewi, pelibatan aparat keamanan justru memperbesar potensi gesekan dan intimidasi terhadap petani, nelayan, dan perempuan di pedesaan. Ia menekankan pentingnya pendekatan sipil dan kebijakan, bukan pendekatan legalistik dan represif.

“Petani, nelayan, perempuan di pedesaan itu tidak lagi dengan polisi dan TNI. Pendekatannya jangan legalistik,” tegasnya.

Seruan KPA ini muncul di tengah meningkatnya konflik agraria di berbagai wilayah. Berdasarkan laporan KPA tahun 2024, terdapat lebih dari 200 kasus konflik agraria yang melibatkan aparat keamanan, dengan warga berhadapan langsung dengan TNI atau Polri. Beberapa kasus yang mencuat antara lain:

  • Rempang, Kepulauan Riau: Warga adat Melayu berhadapan dengan aparat saat menolak relokasi demi proyek Rempang Eco City. Bentrokan terjadi, puluhan warga ditangkap, termasuk anak-anak.
  • Wadas, Jawa Tengah: Penolakan warga terhadap proyek tambang batu andesit untuk Bendungan Bener berujung pada intimidasi dan pengawalan ketat aparat.
  • Pulau Pari, Kepulauan Seribu: Warga menggugat perusahaan swasta atas klaim kepemilikan lahan pesisir yang telah mereka tempati secara turun-temurun.

Dalam forum tersebut, KPA juga mendesak pemerintah dan DPR untuk segera membentuk lembaga khusus yang bertugas menjalankan reforma agraria secara ad hoc dan dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.

Baca juga: Warga Merauke Ungkap Dampak PSN Food Estate di MK: TNI Bersenjata Hadir, Air Tak Bisa Diminum

Menurut Dewi, usulan ini telah diajukan sejak era Presiden Megawati, namun selalu ditolak dengan alasan keberadaan Kementerian ATR/BPN.

“Sudah berulang kali kami usulkan sejak zaman Presiden Megawati, tapi terus ditolak,” kata Dewi.

Ia menilai kementerian dan lembaga yang ada saat ini belum mampu menyelesaikan konflik agraria yang bersifat lintas sektoral, seperti kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Gugus tugas reforma agraria yang ada dinilai tidak efektif dan hanya menghasilkan rapat-rapat tanpa melibatkan kelompok terdampak.

“GTRA di kabupaten dan provinsi hanya dibentuk di tempat eksotis, tapi tidak melibatkan petani, nelayan, CSO yang selama ini mendesakan reforma agraria,” ujarnya.

Dewi juga menyampaikan kekhawatiran bahwa pengadaan tanah berskala besar yang dikendalikan oleh kementerian justru lebih menguntungkan korporasi daripada petani kecil dan kelompok marginal.

“Kalau urusan reforma agraria dikendalikan kementerian yang ada, pasti tanahnya bukan untuk rakyat, tapi untuk korporasi,” tegasnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan