Senin, 29 September 2025

Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI

Pengakuan Mercy Jasinta Buat Petisi Tolak PTDH Kompol Cosmas: Itu Lahir dari Keprihatinan Saya

Warga Bajawa NTT, Mercy Jasinta, membuat petisi penolakan pemecatan Comas Cosmas Kaju Gae dari anggota Polri pada 3 September 2025.

TRIBUNNEWS.COM - Paska pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari anggota Polri terhadap Kompol Cosmas Kaju Gae, muncul sebuah petisi penolakan pemecatan tersebut.

Petisi itu, pertama kali dibuat oleh warga dari Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Mercy Jasinta, pada 3 September 2025.

Sementara Kompol Cosmas berasal Kampung Laja, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, NTT atau masih satu kabupaten dengan pembuat petisi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), petisi diartikan (surat) permohonan resmi kepada pemerintah: Presiden telah memberi perhatian atas -- yang disampaikan masyarakat.

Sementara Kompol Cosmas Kaju Gae adalah Komandan Batalyon (Danyon) Resimen IV Korps Brimob Polri yang terseret kasus kendaraan taktis (rantis) Brimob melindas driver ojol, Affan Kurniawan (21) di kawasan Pejompongan, Jakarta Utara, 28 Agustus lalu.

Buntutnya, Kompol Cosmas dan enam anggota Polri yang terlibat kasus itu, harus menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP).

Kompol Cosmas sudah menjalani sidang etik di Gedung TNCC, Mabes Polri, Jakarta, pada Rabu (3/9/2025).

Hasil sidang KKEP memutuskan Kompol Cosmas bersalah dan disanksi administratif, berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri. 

Setelah disanksi PTDH, muncul petisi penolakan pemecatan Kompol Cosmas yang dibuat Mercy Jasinta pada 3 September 2025.

Mercy membenarkan petisi tersebut, dibuat olehnya.

"Benar, saya yang membuat petisi “Penolakan Pemecatan Kompol Kosmas Kaju Gae” di Change.org," ucapnya kepada Tribunnews, Jumat (5/9/2025).

Baca juga: Sosok Mercy Jasinta, Penggalang Petisi Tolak PTDH Kompol Cosmas Tembus 120 Ribu Lebih Tanda Tangan

Menurutnya, petisi tersebut, dilatarbelakangi keputusan PTDH terhadap Comas yang dianggapnya tidak adil.

"Petisi itu lahir dari keprihatinan saya sebagai masyarakat atas keputusan yang dianggap tidak adil terhadap salah satu aparat yang selama ini dinilai berdedikasi dalam menjalankan tugas," lanjutnya.

Oleh sebab itu, Mercy merasa terpanggil membuat petisi dan menyuarakan aspirasinya. 

"Dalam kapasitas saya sebagai pendidik, saya merasa terpanggil untuk menyuarakan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan," kata seorang dosen di Politeknik St. Wilhelmus Boawae, Kabupaten Nagekeo, NTT ini.

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan