Minggu, 5 Oktober 2025

RUU Perampasan Aset

Surat Terbuka untuk DPR, THMP Sampaikan Pertimbangan Hukum Mendalam soal RUU Perampasan Aset

Surat terbuka berisi pertimbangan hukum komprehensif mengenai Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA)

Tribunnews.com/ Chaerul Umam
ASPIRASI MAHASISWA - Sejumlah perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan organisasi kemahasiswaan se-Indonesia menyampaikan aspirasi mereka terkait dinamika nasional terkini dalam pertemuan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Audiensi tersebut berlangsung di ruang Abdul Muis, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/9/2025). 

TRIBUNNEWS.COM - Tim Hukum Merah Putih (THMP) menyampaikan surat terbuka ditujukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

Surat terbuka berisi pertimbangan hukum komprehensif mengenai Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA).

Dalam surat yang ditandatangani Koordinator THMP, C. Suhadi, tim menyampaikan apresiasi terhadap semangat pemberantasan korupsi, namun juga mengingatkan pentingnya keselarasan RUU tersebut dengan prinsip-prinsip hukum dasar yang dianut oleh negara Indonesia.

Surat yang diterima redaksi pada Kamis (5/9/2025) tersebut secara detail menguraikan beberapa aspek fundamental dalam RUU tersebut, dengan harapan dapat menjadi bahan pertimbangan yang berharga bagi anggota dewan dalam proses pembahasan lebih lanjut.

THMP mengawali pandangannya dengan menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem Civil Law atau Eropa Kontinental.

Dalam sistem ini, semua peraturan perundang-undangan harus bersifat tertulis dan terkodifikasi untuk menciptakan kejelasan dan kepastian hukum.

Sistem ini, yang berlandaskan pada pemisahan kekuasaan (trias politica), mensyaratkan bahwa semua peraturan perundang-undangan harus saling menyeimbangkan dan tidak boleh bertentangan satu sama lain berdasarkan asas ius constitutum.

Dalam suratnya, THMP menyampaikan kekhawatiran mendalam mengenai mekanisme perampasan aset tanpa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Tim hukum ini mengingatkan, mekanisme tersebut perlu dikaji lebih mendalam agar selaras dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dilindungi konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk KUHAP Pasal 66, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 18, dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

"Prinsip presumption of innocence merupakan landasan penting dalam sistem peradilan kita yang perlu tetap dijunjung tinggi bahkan dalam semangat memberantas korupsi. Konsep ini telah diakui dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan menjadi bagian dari peradaban hukum modern," kata Suhadi membacakan bagian isi surat.

THMP juga menyoroti potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang mungkin timbul dari penerapan RUU tersebut.

Baca juga: DPR Ungkap Penyebab RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Disahkan, Akibat 3 RUU Ini

Menurut mereka, perampasan aset tanpa proses pengadilan yang fair dapat berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

Selain itu, mereka memperingatkan bahwa kebijakan tersebut dapat memicu gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Sebagai alternatif konstruktif, THMP merekomendasikan agar pemerintah dan DPR dapat mengoptimalkan penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sudah ada, khususnya mengenai mekanisme pembuktian terbalik.

Menurut mereka, UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang sudah memberikan instrumen yang memadai untuk penyitaan aset dengan tetap menjunjung tinggi proses hukum yang fair dan melindungi hak-hak semua pihak.

Surat terbuka ini diharapkan dapat menjadi masukan konstruktif bagi anggota DPR RI agar proses legislasi RUU Perampasan Aset dapat berjalan dengan tetap memperhatikan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, prinsip-prinsip negara hukum, dan tetap efektif dalam mencapai tujuan pemberantasan korupsi.

THMP menegaskan komitmennya untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi melalui cara-cara yang sesuai dengan prinsip hukum dan keadilan yang berlaku.

Tak Kunjung Disahkan

Wakil Ketua DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa, membeberkan penyebab Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tidak kunjung disahkan hingga saat ini.

RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah diusulkan sejak tahun 2008 lalu oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Namun, hingga saat ini, tidak kunjung disahkan oleh DPR meski tiga presiden telah berganti yaitu Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY); Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi); dan Presiden Prabowo Subianto.

Saan mengatakan sebenarnya DPR telah berkomitmen agar RUU Perampasan Aset segera dibahas.

Namun, komitmen yang sudah ada itu terganjal dengan masih belum rampungnya empat RUU lainnya, yaitu RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), RUU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan RUU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Baca juga: Baleg DPR Nilai RUU Perampasan Aset Belum Sinkron, Tunggu Revisi dari Pemerintah

Dari keempat RUU itu, Saan menuturkan yang paling dekat akan segera disahkan adalah RUU KUHAP.

Saan menjelaskan penyelesaian keempat RUU itu sebelum pembahasan RUU Perampasan Aset demi menghindari terjadinya tumpang tindih penggunaan pasal dalam suatu kasus tipikor

"Tapi perlu disampaikan bahwa ada undang-undang yang terkait juga dengan Undang-Undang Perampasan Aset agar tidak tumpang tindih dan ini perlu disinkronkan."

"Kita ada Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang TPPU, dan sedang kita bahas Undang-Undang KUHAP. Kalau selesai ini KUHAP, karena ini saling terkait, maka yang pertama akan diselesaikan dalam waktu yang cepat adalah KUHAP," katanya saat beraudiensi dengan perwakilan BEM dan organisasi masyarakat di Gedung DPR, Jakarta Pusat, dikutip dari YouTube TV Parlemen, Kamis (4/9/2025).

Sejarah 17 Tahun

Sejak gelombang demonstrasi untuk mendesak agar pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, maka menjadi pengingat bahwa RUU ini sudah 17 tahun 'mangkrak' dan tidak kunjung disahkan.

Sebagai informasi, RUU ini sebenarnya mengatur terkait mekanisme perampasan aset milik pelaku yang melakukan tindak pidana bermotif ekonomi seperti korupsi. Adapun tujuannya demi memaksimalkan pemulihan aset negara yang dikorupsi oleh pelaku.

Di sisi lain, selama lebih dari satu dekade, RUU ini seperti 'terlontang-lantung' di DPR.

Contohnya, pada DPR periode 2024-2029, RUU Perampasan Aset tidak masuk sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dan hanya dimasukkan ke dalam Prolegnas Jangka Menengah.

Bahkan, RUU Perampasan Aset hanya dimasukkan dalam posisi ke-82 Prolegnas.

Padahal, pada tahun 2022, RUU Perampasan Aset sempat masuk sebagai Prolegnas prioritas untuk tahun 2023.

Selain itu, pada April-Mei 2023, RUU Perampasan Aset sudah diserahkan ke presiden dan Surat Presiden (Surpres) sudah diserahkan.

Namun, hingga saat itu, tidak ada pembahasan RUU ini hingga saat ini.

Ironi RUU Pembahasan Aset pun paling tampak pada tahun 2013-2014 dan 2016-2018 karena sama sekali RUU ini tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas atau Prolegnas Jangka Menengah.

Kini, RUU Perampasan Aset menjadi salah satu dari tiga paket RUU yang dituntut oleh buruh agar segera dibahas pemerintah bersama DPR selain RUU Ketenagakerjaan dan RUU Pemilu.

Didukung Prabowo dan Jokowi

Pengesahan segera RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah didukung oleh Prabowo saat berpidato dalam Hari Buruh Internasional yang digelar di Monas, Jakarta, pada 1 Mei 2025 lalu.

Dia mengatakan RUU ini harus segera disahkan demi mengembalikan kekayaan negara yang telah dicuri oleh koruptor.

"Saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Enak aja udah korupsi nggak mau kembalikan aset," katanya saat itu.

Baca juga: DPRD Jabar Keluarkan Maklumat Dukung Pengesahan RUU Perampasan Aset

Selain itu, Jokowi pun juga mendukung agar RUU Perampasan Aset segera disahkan.

Hal ini disampaikannya saat masih menjabat sebagai Presiden ketika berpidato pada Puncak Peringatan Antikorupsi Sedunia (Hakordia), di Istora Senayan, Jakarta, pada 12 Desember 2023 lalu.

Ia menuturkan jika RUU ini segera disahkan, maka akan menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi.

“Menurut saya, undang-undang perampasan aset tindak pidana ini penting segera diselesaikan, karena ini adalah sebuah mekanisme untuk pengembalian kerugian negara dan bisa memberikan efek jera,” ujarnya.

Tak cuma itu, Jokowi juga mendorong agar DPR segera mengesahkan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal demi meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi perbankan.

"Kemudian juga Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal yang mendorong pemanfaatan transfer perbankan. Ini semuanya akan lebih transparan, lebih akuntabel, juga sangat bagus,” ujarnya.

(Tribunnews.com/ Chrysnha,Yohanes Liestyo Poerwoto, Igman Ibrahim, Taufik Ismail)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved