Demonstrasi di Berbagai Wilayah RI
Eks Aktivis 98 Imbau Anggota DPR Tak Hanya Minta Maaf Tapi Beri Teladan, Singgung Kontroversi Jokowi
Pengamat Politik dan eks aktivis 98 Ray Rangkuti mengatakan para anggota DPR yang meminta maaf sudah tepat usai adanya aksi massa yang masif.
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat politik Ahmad Fauzy alias Ray Rangkuti, menilai aksi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang mengunggah video permintaan maaf usai maraknya aksi demonstrasi merupakan langkah yang tepat.
Ray Rangkuti merupakan Direktur Eksekutif Lingkar Madani, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beraktivitas memantau pemilu, mengkritisi parlemen, serta memerangi korupsi.
Ray, yang juga dikenal sebagai eks aktivis reformasi 1998 dan salah satu pendiri Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), menyampaikan bahwa permintaan maaf publik dari anggota DPR merupakan sinyal positif, tetapi belum cukup untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap para politisi.
Sebelumnya beberapa anggota DPR RI mengunggah video permintaan maaf usai adanya aksi unjuk rasa yang besar di berbagai Indonesia.
Demo tersebut buntut dari protes kenaikan tunjangan DPR RI hingga kematian Driver Ojek Online (Ojol), Affan Kurniawan yang tewas dilindas mobil rantis Brimob saat aksi unjuk rasa di Pejompongan, Jakarta, Kamis (28/8/2025).
Ray Rangkuti menekankan bahwa permintaan maaf tersebut harus dibuktikan dengan tindakan konkret, bukan sekadar ucapan.
“Tidak terlambat, itu sudah tepat. Yang terlambat itu adalah cara mereka mengubah sifat mereka,” ujar Ray kepada Tribunnews.com, Minggu (31/8/2025).
Pihaknya menyampaikan saat ini tingkat kepercayaan publik terhadap para politisi rendah usai kisruh yang berawal dari kabar kenaikan tunjangan DPR RI berujung pada aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia.
“Kepercayaan orang pada politisi saat ini masih rendah. Tapi itu bagus, oleh karena itu kita harap harus dikonkretkan dalam bentuk sikap dan langkah lainnya yang tepat,” tambahnya.
Ia pun menyinggung momen menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sempat menyampaikan permintaan maaf kepada publik, namun kemudian menuai kontroversi akibat pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden (Wapres) RI.
“Ini mengingatkan saya pada Pak Jokowi sebelum lengser, itu minta maaf di mana-mana. Tapi setelah itu menimbulkan kontroversi terkait pencalonan anaknya sebagai Wapres,” ucap Ray.
Dengan merujuk pada hal tersebut, Ray menegaskan pentingnya konsistensi antara ucapan dan perbuatan.
“Jadi saya harap jangan cuma sekadar lisan, tapi harus dikonkretkan dalam aksi perilaku nyata, dalam teladan-teladan nyata, bukan sekadar ucapan,” pungkasnya.
Baca juga: Sosok Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN Nonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya dari DPR
Tanggapan soal Penonaktifan Sejumlah Kader
Ray juga memberikan tanggapan terkait sikap Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), serta Partai Golongan Karya (Golkar) yang menonaktifkan para kadernya yang dianggap memberikan pernyataan tidak tepat.
Diketahui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) memutuskan untuk menonaktifkan kadernya yakni Sekretaris Jenderal (Sekjen) Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan juga Surya Utama alias Uya Kuya, yakni dinonaktifkan sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Sementara Partai Nasional Demokrat (NasDem) juga menonaktifkan kadernya, yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach.
Dan juga Partai Golkar menonaktifkan Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir sebagai anggota DPR.
Ia menilai penonaktifan para kader tersebut memang dapat membantu meredam aksi massa, namun hal tersebut tidak cukup untuk meredam protes publik secara menyeluruh.
"Jadi ada protes publik, ada aksi dari protes itu, dan aksi protes itu bisa dibantu 'diredam' dengan penonaktifan kader partai NasDem. Tapi tidak cukup hanya dengan cara itu saja," kata Ray.
Menurutnya, langkah meredam amarah masyarakat harus disertai perubahan perilaku politik. Bukan sekadar tindakan administratif.
Ia menegaskan bahwa protes publik yang merebak saat ini merupakan sinyal penting akan kebutuhan reformasi kultural politik di Indonesia.
Ray bahkan menyebut dinamika aksi massa 2025 memiliki kemiripan dengan peristiwa 1998, meski skalanya berbeda.
Jika 1998 melahirkan reformasi sistem dari otoritarianisme menuju demokrasi, maka peristiwa 2025, menurutnya, perlu diarahkan pada reformasi etika politik.
"Setelah hampir 30 tahun, kita merasakan sistem demokrasi ini tidak cukup menopang harapan publik jika tidak ditopang oleh etika politik. Aksi 2025 ini adalah momentum mereformasi kultur politik dari nepotisme menuju politik yang mempertimbangkan etika dan moral," jelas Ray.
Ia mencontohkan praktik nepotisme sebagai salah satu wajah politik tanpa etika.
“Bagaimana mungkin seseorang yang minim pengalaman bisa menjadi wakil presiden hanya karena ayahnya presiden. Memang aturan membolehkan, tapi secara etika itu tidak pantas,” tegasnya.
Ray menambahkan, reformasi etika politik diharapkan bisa mengubah perilaku elit agar tidak hanya menegakkan aturan semata, tetapi juga menjunjung moral. Ia juga mengkritik anggota DPR yang sering tampil garang di hadapan rakyat, tetapi justru lunak ketika berhadapan dengan pemerintah.
"Demokrasi tidak bisa hanya dipandang sebagai seperangkat aturan, tetapi harus dilihat sebagai seperangkat etika. Itulah yang kita tunggu dari aksi ini: apakah nanti praktik nepotisme masih marak, apakah perilaku flexing masih dipertontonkan (oleh para anggota DPR RI)," imbuhnya.
Apa yang Dilakukan Uya Kuya, Eko Patrio, Sahroni hingga Nafa Urbach, Adies Kadir hingga Dinonaktifkan?
Sebelumnya Sahroni menyebut bahwa desakan untuk membubarkan DPR adalah sikap orang 'bodoh'.
"Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak bodoh semua kita," ujar Sahroni saat melakukan kunjungan kerja di Polda Sumut, Jumat (22/8/2025).
Sementara pernyataan Nafa Urbach yang dianggap melukai masyarakat yakni berawal dari komentarnya saat live TikTok.
Ia menyebut bahwa tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta bukan kenaikan fasilitas, melainkan kompensasi atas rumah jabatan yang kini tak lagi diberikan oleh negara.
Menurut Nafa Urbach, kebijakan tersebut diberikan karena anggota dewan kini harus menyewa rumah sendiri.
Pernyataan kedua politisi tersebut, disebut-sebut ikut serta mendorong adanya aksi massa yang berdemonstrasi turun ke jalan.
Sementara Adies Kadir menjadi sorotan lantaran pernyataannya mengenai tunjangan DPR yang mengalami kenaikan.
Ia menyebut adanya kenaikan tunjangan bagi Anggota DPR, yakni tunjangan beras yang naik menjadi Rp12 juta dari Rp10 juta.
Kemudian tunjangan transportasi atau uang bensin yang naik menjadi Rp7 juta dari sebelumnya hanya Rp4 juta hingga Rp5 juta.
Sementara Eko Patrio disorot usai viral berjoget di Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI pada 15 Agustus 2025 lalu hingga memparodikan sound horeg.
Eko Patrio pun memberikan klarifikasi, di mana terkait dirinya dan anggota DPR lainnya yang berjoget di Sidang Tahunan MPR RI, menurutnya hal tersebut bentuk spontanitas.
Pihaknya menjelaskan bahwa momen dirinya dan anggota DPR RI yang berjoget terjadi bukan saat sidang berlangsung, melainkan setelah Presiden Prabowo Subianto selesai menyampaikan pidato RAPBN 2026 dan nota keuangan.
Dan kata Eko, pada saat penutupan ada sesi hiburan orkestra dari Symphony Praditya Wiratama Universitas Pertahanan, yang membawakan lagu-lagu daerah seperti Sajojo dan Gemu Fa Mi Re.
Sementara soal viral dirinya memparodikan sound horeg itu terjadi dalam momen pembubaran panitia Perayaan 17 Agustus di internal PAN.
Video tersebut menuai kritik dari masyarakat karena diunggah tak lama setelah sorotan terhadap aksi sejumlah anggota DPR yang berjoget di sela Sidang Tahunan MPR 2025.
"Seandainya ada yang bagaimana-bagaimana, ya saya sebagai pribadi minta maaf lah," kata Eko, Senin (24/8/2025).
Senada dengan Eko, Uya Kuya juga tampak menjadi salah satu anggota DPR RI yang asyik berjoget dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Diiringi lagu "Gemu Fa Mi Re" oleh kelompok musik dari Universitas Pertahanan (UNHAN), Uya Kuya bersama sejumlah anggota dewan lain terlihat berjoget di kursi masing-masing sembari tertawa.
Uya Kuya, bersama legislator yang turut berjoget, dinilai tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat, terutama karena berbarengan dengan mencuatnya besaran gaji yang bisa mencapai Rp100 juta per bulan, serta tunjangan rumah anggota DPR RI hingga Rp50 juta per bulan.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati/Fersianus Waku)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.