Demo Buruh
DPR Belum Sahkan UU Ketenagakerjaan Baru, Said Iqbal Sindir Kerjanya Cuma Minta Naik Gaji dan Joget
Said Iqbal berani melontarkan sindiran kepada DPR karena belakangan ini kinerja serta kesejahteraan anggota dewan itu tengah menjadi sorotan publik.
Meski demikian, publik kembali dikejutkan dengan kebijakan baru terkait tunjangan rumah bagi anggota DPR periode 2024–2029, yang kini diganti dengan pemberian uang sebesar Rp50 juta per bulan.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra karena muncul di tengah situasi ekonomi yang memberatkan masyarakat.
Selain itu, sikap para anggota DPR juga dikritik usai mereka berjoget massal dalam penutupan Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD pada 15 Agustus 2025.
Aksi mereka yang terlihat bersuka ria mengikuti alunan lagu daerah dinilai kurang sensitif terhadap penderitaan rakyat di luar gedung parlemen.
Putusan MK soal UU Ketenagakerjaan Baru
Dilansir mkri.id, dalam putusan UU Ketenagakerjaan baru berjumlah 687 halaman itu, MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023.
Pertimbangan hukum tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
MK menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja, terutama terkait dengan norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah (baik berupa pasal dan ayat) sulit dipahami secara awam, termasuk sulit dipahami oleh pekerja atau buruh.
Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan atau diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
Dalam putusan tersebut, MK membagi pertimbangan hukum ke dalam enam klaster dalil permohonan, sebagai berikut:
Dahulukan Tenaga Kerja Indonesia
Terkait dalil penggunaan tenaga kerja asing, MK mengabulkan sebagian permohonan terutama norma Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 yang diubah dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang menyatakan:
“Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” yang tidak mengatur pembatasan secara teĝas dan rigid serta hanya menggunakan frasa “hanya dalam” merupakan rumusan norma yang menimbulkan ketidakpastian (multitafsir) sebagaimana yang dikhawatirkan oleh para Pemohon.
Agar tidak terjadi penyimpangan dalam penerapannya, penting bagi MK untuk menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: “Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.
Jangka Waktu PKWT Lima Tahun
MK juga menegaskan soal aturan durasi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sebelumnya, dalam UU Cipta Kerja, dikembalikan pada perjanjian/kontrak kerja.
Pasalnya, UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur agar durasi tersebut didasarkan pada waktu yang ditentukan oleh undang-undang.
Melalui putusan ini, untuk memberikan perlindungan atas pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh sebelum dilakukan perubahan Pasal 81 angka 12 UU 6/2023, maka menurut MK terkait dengan pengaturan jangka waktu PKWT yang saat ini sudah berjalan yaitu, paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan PKWT sebagai dasar perjanjian kerja, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 perlu ditegaskan sebagaimana selengkapnya dalam amar Putusan a quo.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.