Selasa, 7 Oktober 2025

Apkasi dan Komisi II DPR Dorong Kemandiran Fiskal di Pemerintah Kabupaten

Rifqinizamy juga membedah persoalan otonomi daerah dan masa depan pemilu serentak 2029.

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Hasanudin Aco
Istimewa
KEMANDIRIAN FISKAL DAERAH - Diskusi terbatas Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dengan Komisi II DPR membahas kemandirian fiskal di pemerintahan kabupaten di kantor Dewam Pengurus APKASI di Jakarta, Rabu, 20 Agustus 2025. 

Ia menyatakan salah satu langkah konkret yang sedang digarap Komisi II DPR adalah RUU Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

"Kami bersama Kemendagri mendesain rancangan undang-undang ini untuk menciptakan tata kelola korporasi modern, memisahkan penugasan layanan publik dari bisnis komersial, seleksi direksi yang profesional dan bebas intervensi politik, serta pengawasan ketat," katanya.

Ia menambahkan, harus ada pemisahan jelas antara tugas sosial (public service obligation/PSO) dan bisnis. Khusus PSO, harus ada kompensasi yang jelas sehingga tidak terjadi subsidi silang yang membebani BUMD.

Terkait isu implikasi Putusan MK No 135/PUU–XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional (Pilpres, Pileg DPR, DPD) dengan Pemilu Lokal (Pilkada dan Pileg DPRD), Rifqi menyatakan putusan ini ibarat gempa konstitusional karena merobek desain pemilu serentak yang dibangun.

Ia menyoroti tiga masalah utama, pertama, soal tumpang tindih norma, yakni pemisahan waktu hingga 2,5 tahun dinilai bertentangan dengan roh Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu lima tahunan yang serentak.

Kedua, ada krisis masa jabatan, yakni Pemilu Lokal 2024 yang sudah digelar berpotensi membuat masa jabatan kepala daerah dan DPRD harus diperpanjang hingga 2031, sebuah langkah tanpa dasar hukum yang jelas dan melanggar prinsip periodisasi.

Hal ketiga ada kecenderungan pergeseran fungsi MK, yakni MK dinilai melampaui kewenangannya sebagai negative legislature (penguji UU) dan beralih menjadi positive legislature (pembentuk norma baru) yang sejatinya adalah kewenangan DPR dan pemerintah.

“Ini problematik kenegaraan yang serius. Posisi DPR sebagai pembentuk UU seolah dipotong,” ujarnya.

Jalan keluar yang bisa diusulkan di antaranya kodifikasi besar-besaran menuju Pemilu 2029.

Meski ia mengakui usulan solusi ini terbilang ambisius, tapi dianggap perlu yakni mengkodifikasi seluruh undang-undang terkait pemilu dan politik ke dalam satu payung hukum tunggal, mungkin melalui metode omnibus law.

RUU Kodifikasi ini akan mengintegrasikan setidaknya enam UU yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, UU MD3, serta hukum acara penyelesaian sengketa.

“Tujuannya menciptakan kepastian hukum, menyederhanakan regulasi yang tumpang-tindih, menghemat anggara, dan terpenting, menyiapkan desain Pemilu 2029 yang terintegrasi dan sistemik,” jelasnya.

Rifqi menegaskan pimpinan DPR dan seluruh fraksi akan terus bersinergi mencari jalan keluar terbaik.

“Kita harus mencari titik tengah. Yang utama menjunjung tinggi Konstitusi UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, sambil tetap berusaha menghormati putusan MK,” pungkasnya.

Ketua Umum Apkasi Bursah Zarnubi mengapresiasi Ketua Komisi II DPR RI yang berkenan diskusi dengan para bupati.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved