Kamis, 2 Oktober 2025

Yusril Sebut Ada Syarat Harus Dipenuhi Untuk Ajukan Pemindahan Narapidana Antarnegara

Yusril Ihza Mahendra mengatakan ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan untuk mengajukan pemindahan narapidana antarnegara.

Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com/ Ibriza
YUSRIL IHZA MAHENDRA - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, dalam konferensi pers rapat koordinasi pembahasan RUU Pemindahan Narapidana Antar Negara, di Jakarta, Selasa (19/8/2025). Yusril mengatakan, finalisasi RUU ini harus segera dilakukan karena sudah banyak negara lain yang meminta pemindahan narapidana kepada pemerintah Indonesia. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra mengatakan ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan untuk mengajukan pemindahan narapidana antarnegara.

Hal ini disampaikan Yusril saat menjelaskan aturan dalam Revisi Undang-undang (RUU) Pemindahan Narapidana Antarnegara yang sedang dibahas pemerintah saat ini.

Yusril mengatakan, dalam pembahasan RUU ini, pemerintah juga membahas syarat-syarat untuk bisa melakukan pemindahan maupun pertukaran narapidana antarnegara.

Terkait persyaratan itu, kata Yusril, proses pemindahan maupun pertukaran narapidana antarnegara harus diawali dari adanya permintaan negara yang bersangkutan. 

"Sebenarnya begini, undang-undangnya ini kan mengatur tentang tata cara, syarat-syarat tentang pemindahan narapidana itu. Tapi, pelaksanaannya kan berdasarkan permohonan," kata Yusril di Jakarta, Selasa (19/8/2025). 

Baca juga: Pemerintah Bahas RUU Pemindahan Narapidana Antarnegara, Yusril: Sempat Terhenti

Yusril menuturkan, setelah adanya permohonan tersebut, nantinya pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan apakah narapidana yang diminta untuk dilakukan pemindahan telah memenuhi syarat yang telah diatur lebih lanjut.

Sejumlah syarat tersebut, jelas Yusril, diantaranya pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan hubungan baik kedua negara, dan lama masa tahanan yang sudah dijalani.

"Pertama adalah pertimbangan kemanusiaan dan kedua adalah pertimbangan hubungan baik dengan negara yang bersangkutan, dan juga sudah berapa lama orang itu menjalani pidana di sini (Indonesia). Yang selama ini kita serahkan itu sudah 20 tahun ditahan di sini atau menjalani pidana di sini," kata Yusril.

Baca juga: Video Keberadaan Mary Jane usai Prabowo Setujui Pemindahan Narapidana Bersyarat ke Filipina

Ia kemudian menjelaskan, proses pemindahan ataupun pertukaran ini hanya bisa dilakukan jika status hukum narapidana yang bersangkutan sudah inkrah.

Sedangkan, untuk narapidana yang proses hukumnya masih berjalan, maka dapat dilakukan ekstradisi.

"Sudah ada putusan pengadilan yang inkrah. Kalau belum ada putusan pengadilan, nggak bisa. Kalau sedang dalam proses penyelidikan-penyelidikan, bisa diekstradisikan. Ini kan hanya yang sudah dipidana, ada putusan inkrah," jelas Yusril.

Tak hanya itu, menurutnya, lembaga penegak hukum yang memproses perkara pihak terpidana juga akan dimintai pertimbangannya.

"Dan juga kita harus dengar pertimbangan BNN, pertimbangan dari kepolisian, dan lain-lain. Dan karena menyangkut lintas kementerian, begitu," kata Yusril.

Lebih lanjut, Yusril mengatakan, pemindahan dan pertukaran narapidana antarnegara ini juga termasuk untuk terpidana yang divonis hukuman mati. 

Katanya, terpidana yang divonis hukuman mati, dapat dilakukan pemindahan antarnegara jika memang belum dieksekusi. 

"Sebenarnya kalau hukum matinya sudah dilaksanakan, memang ya nggak perlu dipindahkan, orangnya sudah mati. Tapi sekarang ini, orang yang sudah dihukum mati, tapi belum dieksekusi," kata Yusril. 

"Sejalan juga dengan perubahan-perubahan KUHP kita sekarang, eksekusi hukuman mati itu kan tidak mudah dilaksanakan. Dan karena itu, orang yang sudah dipidana mati, belum dieksekusi, itu juga dapat dipindahkan," sambungnya.

Selain itu, katanya, syarat lainnya yang juga harus dipenuhi untuk bisa melakukan pemindahan atau pertukaran narapidana antarnegara, yakni kedua negara sama-sama menilai tindakan yang dilakukan narapidana yang bersangkutan sebagai sebuah kejahatan. 

"Jadi begini, prinsipnya begini. Di sini dianggap kejahatan, di negara yang bersangkutan dianggap kejahatan juga. Itu baru bisa dipindah. Kalau di sini dianggap kejahatan, di sana tidak, dan sebaliknya, itu nggak bisa dipindahkan," ucap Yusril.

"Jadi kasus orang kumpul kebo misalnya, di sini bisa dipidana. Tapi barangkali di Belanda tidak. Jadi pidananya, di sini pidana, di sana pidana juga. Kalau nggak, ya nggak bisa," imbuhnya.

Yusril mengungkap banyak permintaan dari negara lain untuk pemindahan narapidana menjadi alasan untuk pemerintah Indonesia segera membahas finalisasi RUU Pemindahan Narapidana Antar Negara.

"Sudah terdapat suatu tuntutan mendesak untuk menyelesaikan RUU ini karena banyaknya permintaan pemindahan narapidana negara-negara sahabat kepada pemerintahan kita," jelas Yusril.

"Dan sementara ini kita menyelesaikan permintaan negara-negara sahabat itu dengan suatu langkah yang disebut dengan merumuskan practical arrangement, menyelesaikan pemindahan narapidana itu sambil menunggu RUU-nya selesai kita bahas," tambahnya.

Ia menjelaskan, dalam pembahasan RUU tersebut, pemerintah Indonesia mencoba untuk menggabungkan dua rancangan undang-undang yang sudah dibuat sebelumnya, pada 2016 lalu.

Ia menambahkan, dua rancangan undang-undang tersebut, di antaranya tentang pemindahan narapidana dan tentang pertukaran narapidana.

"Dan sekarang cukup kita tuangkan dalam satu RUU, yaitu RUU tentang Pemindahan Narapidana Antar Negara," jelas Yusril.

Selain itu, kata Yusril, dalam menyusun RUU ini, pemerintah mengacu pada beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu konvensi tentang transnational organize crime atau Konvensi Palermo.

Untuk diketahui, rapat pembahasan RUU Pemindahan Narapidana Antar Negara ini turut dihadiri sejumlah kementerian terkait dan lembaga penegak hukum.

"Semuanya sudah menyepakati RUU ini untuk difinalisasi dan kemudian diajukan sebagai satu RUU kepada Presiden melalui Sekretariat Negara," ucapnya.

Ia berharap, RUU ini sudah dibahas DPR pada akhir tahun 2025.

Latar Belakang Munculnya RUU  Tentang Pemindahan Narapidana 

Dilansir dari naskah akademik RUU Tentang Pemindahan Narapidana yang diunggah dalam website bphn.go.id, menjelaskan berdasarkan data statistik dari Kementerian Luar Negeri terdapat 4.227.883 Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri.

Dari jumlah tersebut, lebih dari setengahnya adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yaitu sebesar 60 persen, selebihnya adalah pelajar, profesional, Anak Buah Kapal (ABK) dan WNI lainnya. 

Penyebaran WNI tersebut, terkonsentrasi paling banyak di wilayah Asia yaitu sebesar 60.80 persen, lalu berturut-turut di wilayah Timur Tengah, Amerika, Pasifik, Eropa dan Afrika

Keberadaan WNI di luar negeri mau tidak mau mendorong mereka untuk berinteraksi aktif dengan masyarakat setempat dan terlibat dalam semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan hukum.

Akhir-akhir ini jumlah keterlibatan WNI di luar negeri dalam proses hukum mengalami peningkatan.

Kementerian Luar Negeri RI mencatat terdapat sejumlah 4415 orang WNI yang dipenjara di luar negeri, sebagian besar dihukum di Negara Malaysia dengan kasus terbanyak pelanggaran imigrasi dan perkelahian, sekitar 283 orang WNI ditahan di Australia karena kasus people smuggling, narkoba dan keimigrasian.

Selain Malaysia dan Australia, negara-negara lainnya seperti Brunei, Filipina, dan Thailand juga memenjarakan WNI yang terlibat kasus hukum di negaranya, jumlah mereka di masing-masing negara tersebut sekitar 40 orang.

Sebaliknya, Warga Negara Asing (WNA) banyak juga yang terlibat kasus hukum di Indonesia.

Data statistik dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, menunjukkan bahwa narapidana Warga Negara Asing yang ada di Indonesia per tanggal 1 Maret 2013 adalah sejumlah 682 orang.

Narapidana WNA terbanyak berasal dari Malaysia yaitu sejumlah 144 orang.

Sedangkan jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh Warga Negara Asing di Indonesia adalah tindak pidana narkotika.

Kondisi tersebut mendorong sejumlah negara mengajukan tawaran kerjasama pada Pemerintah Indonesia untuk memindahkan warga negaranya yang dihukum di Indonesia agar menjalani pidana di negara asalnya.

Kerja sama tersebut dalam hukum internasional dikenal dengan Transfer of Sentenced Person/TSP (transfer narapidana).

Saat ini, usulan kerja sama TSP datang dari Negara Malaysia, Thailand, China/Hong Kong, Filipina, Perancis, Nigeria, Iran, Bulgaria, Rumania, Brasil, Australia, Suriah, India dan Inggris.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved