Selasa, 30 September 2025

Klarifikasi Nusron Wahid usai Sebut Tanah Terlantar Diambil Negara: Ada Kata yang Maksudnya Guyon

Nusron meminta maaf soal pernyataanya terkait tanah terlantar dikuasai negara. Dia menegaskan tidak semua bisa dikuasai.

Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
POLEMIK TANAH WARGA - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid saat jumpa pers di Kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (12/8/2025). Nusron menyatakan permohonan maaf kepada publik atas pernyataan tanah nganggur bisa diambilalih negara yang menimbulkan polemik. 

TRIBUNNEWS.COM - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid memberikan klarifikasi atas pernyataannya yang menjadi sorotan publik terkait tanah terlantar akan diambil negara.

Mulanya, dia menjelaskan pernyataannya itu mengacu pada amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."

Nusron mengatakan saat ini, banyak tanah yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) dalam kondisi terlantar.

Sehingga, ia mengungkapkan tanah dengan kondisi tersebut bisa dimanfaatkan untuk program strategis pemerintah.

"Inilah yang menurut saya dapat kita dayagunakan untuk program-program strategis pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan rakyat mulai dari reforma agraria, pertanian rakyat, ketahanan pangan, perumahan murah, hingga penyediaan lahan bagi kepentingan umum seperti sekolah rakyat, puskesmas, dan sebagainya," kata Nusron dalam konferensi pers di Kantor ATR/BPN, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Nusron pun menegaskan penguasaan lahan terlantar oleh negara hanya khusus ditujukan untuk tanah berstatus HGU dan HGB saja.

Sehingga, lahan yang sudah berstatus dimiliki seseorang melalui bukti Surat Hak Milik (SHM) tidak masuk dalam kategori tersebut.

"Ini semata-mata menyasar lahan yang statusnya HGU dan HGB yang luasnya jutaan hektar tapi dianggurkan, tidak dimanfaatkan, dan tidak produktif."

"Bukan menyasar tanah rakyat, pekarangan rakyat, atau tanah waris, apalagi yang sudah mempunyai status Sertifikat Hak Milik maupun Hak Pakai," katanya.

Baca juga: Nusron Wahid: Pembangunan Perumahan Harus Tanpa Alih Fungsi Lahan Pertanian

Terkait penjelasannya beberapa waktu lalu, Nusron mengakui adanya pemilihan kata yang dimaksudkannya bersifat candaan.

Namun, dia akhirnya menyadari bahwa candaan tersebut justru menimbulkan persepsi keliru di masyarakat.

"Dalam proses menjelaskan itu, memang ada bagian pernyataan saya yang saya sampaikan sebetulnya dalam konteks maksudnya guyon atau bercanda."

"Namun, setelah saya menyaksikan ulang, kami menyadari dan kami mengakui bahwa pernyataan tersebut, candaan tersebut tidak tepat, tidak sepantasnya, dan tidak selayaknya, apalagi disampaikan oleh seorang pejabat publik sehingga dapat menimbulkan persepsi keliru di masyarakat," ujarnya.

Nusron pun meminta maaf kepada masyarakat atas pernyataannya tersebut dan berjanji akan berhati-hati dalam berbicara khususnya ketika menyampaikan sebuah kebijakan.

Nusron soal Tanah Nganggur Disita Negara: Emang Mbahmu Bisa Bikin Tanah?

Salah satu pernyataan Nusron yang menjadi sorotan adalah ketika menyebut bahwa masyarakat hanya diberikan status kepemilikan.

Menurutnya, jika tidak digunakan maka bisa diambil oleh negara.

Lalu, dia berkelakar bahwa leluhur tidak bisa membuat tanah sendiri. Adapun candaan Nusron itu mengacu pada fenomena lahan yang sudah dimiliki seseorang secara turun temurun.

"Tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara. Orang itu hanya menguasai, negara memberikan hak kepemilikan."

"Tapi ini tanah mbah saya, leluhur saya. Saya mau tanya, emang mbah-mbah atau leluhur bisa membuat tanah?" katanya dalam acara Ikatan Surveyor Indonesia di Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Pada kesempatan tersebut, dia juga menyebut adanya 100 ribu hektar tanah terlantar yang tengah dipantau pemerintah.

Baca juga: Cegah Jual Beli Pulau Kecil, Nusron Wahid Minta Pemda Terbitkan Hak Pengelolaan

Nusron mengungkapkan proses penetapan tanah terlantar itu membutuhkan waktu sekitar 578 hari atau sekitar dua tahun.

Mulanya, pemerintah akan memberikan surat teguran terkait potensi tanah terlantar.

Untuk peringatan pertama, Nusron mengungkapkan pihak pemilik akan diberi waktu balasan selama 180 hari.

Kemudian, jika masih belum ada balasan, maka akan diberikan surat peringatan kedua selama 90 hari dan dievaluasi selama dua pekan.

"Kalau dievaluasi 2 minggu masih bandel lagi, kita kasih peringatan lagi 45 hari. Evaluasi lagi 2 minggu masih bandel SP (Surat Peringatan) 3, 30 hari. Kita monitoring baru kemudian rapat penetapan (tanah terlantar). Jadi itu totalnya 587 hari," pungkasnya.

Mekanisme Pengambilalihan Tanah Terlantar oleh Negara

Adapun mekanisme pengambilalihan tanah terlantar menjadi milik negara diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

Lalu terkait objek penertiban kawasan terlantar diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 20 Tahun 2021 yaitu:

  1. kawasan pertambangan;
  2. kawasan perkebunan;
  3. kawasan industri;
  4. kawasan pariwisata;
  5. kawasan perumahan;
  6. kawasan perumahan/permukiman skala besar/terpadu; atau
  7. kawasan lain yang pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatannya didasarkan pada izin/konsesi/perizinan berusaha yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan ruang.

Selain kawasan, tanah juga bisa menjadi objek penertiban oleh negara yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2 sampai 5 yang berbunyi:

  • hak milik, jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sehingga:
  1. dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan;
  2. dikuasai oleh pihak lain secara terus-menerus selama 20 tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemegang hak; atau
  3. fungsi sosial hak atas tanah tidak terpenuhi, baik pemegang hak masih ada maupun sudah tidak ada;
  • hak guna bangunan (“HGB”), hak pakai, dan hak pengelolaan, jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak;
  • hak guna usaha (“HGU”), jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak; dan
  • tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya dasar penguasaan atas tanah

Di sisi lain terkait mekanisme penentuan sebuah kawasan atau tanah terlantar atau tidak diawali dari adanya evaluasi, peringatan, dan penetapan.

Jika dalam tahap evaluasi, instansi menemukan adanya kesengajaan tanah atau kawasan tidak dimanfaatkan secara sengaja, maka pemegang terkait akan dikirimi surat pemberitahuan dalam jangka waktu paling lama 180 hari sejak tanggal diterbitkannya pemberitahuan.

Baca juga: Menteri Nusron: 48 Persen dari 55,9 Juta Hektare Lahan Bersertifikat di RI Dikuasai 60 Keluarga

Lalu, jika pemegang hak tidak segera mengusahakan untuk dimanfaatkan tanahnya, makan akan diberi peringatan tertulis sebanyak tiga kali.

Kemudian, jika masih tidak kunjung dilaksanakan, maka kawasan atau tanah tersebut resmi ditetapkan terlantar.

Hal itu akan dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah ATR/BPN ke kementerian dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja.

Sehingga, kawasan atau tanah terlantar itu resmi dikuasai negara yang tertuang dalam Pasal 30 PP Nomor 20 Tahun 2021.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Rizki Sandi Saputra)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved