Royalti Musik
Ahli Pemerintah: Tarif Royalti Musik Terlalu Mahal, Perlu Ditinjau Ulang
Ahmad M Ramli, meminta agar pendekatan tarif royalti dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ditinjau ulang.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Guru Besar Kekayaan Intelektual dan Cyber Law Universitas Padjadjaran, Ahmad M Ramli, meminta agar pendekatan tarif royalti dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ditinjau ulang dan disesuaikan dengan perkembangan model bisnis digital saat ini.
Hal tersebut disampaikan Ramli saat hadir sebagai ahli yang dihadirkan pemerintah dalam sidang uji materi perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dan 37/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (7/8/2025).
Royalti adalah pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak atas kekayaan intelektual, seperti hak cipta, paten, atau merek dagang, sebagai imbalan atas penggunaan aset tersebut. Biasanya, royalti dibayarkan dalam bentuk persentase dari pendapatan atau berdasarkan jumlah penggunaan.
Ramli menilai, lanskap bisnis digital saat ini berbeda jauh dengan model bisnis konvensional.
Banyak layanan dan produk digital kini tersedia secara open source, bahkan versi premium pun bisa diakses secara gratis.
Baca juga: Polemik Royalti Musik, Bagaimana dengan Pemutaran Lagu Indonesia Raya? Ini Kata Ahli
"Di saat seperti ini, pendekatan tarif royalti terlalu mahal dan memberatkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan harus ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini," kata Ramli.
Ia menekankan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif agar penggunaan musik tetap hidup di ruang publik dan ruang komersial.
"Pendekatan murah tapi massal, lebih baik daripada mahal tapi justru ditinggalkan," ujarnya.
Baca juga: Ramai Polemik Royalti Musik di Kafe, Ivan Gunawan Pilih Putar Lagu Sendiri di Kafe Miliknya
Ramli juga menyoroti soal penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta.
Menurutnya, pendekatan yang terlalu represif dapat berdampak negatif, khususnya terhadap pelaku usaha yang akhirnya enggan menggunakan musik karena khawatir dengan risiko hukum.
Karena itu, ia mendorong agar pemerintah mengedepankan pendekatan yang membangun, dengan memperluas segmen pasar dan menjadikan musik sebagai bagian dari gaya hidup.
Ia juga mendorong adanya tarif royalti yang lebih terjangkau serta kampanye masif untuk meningkatkan kepatuhan pengguna komersial.
Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh 28 musisi, di antaranya Armand Maulana, Nazriel "Ariel" Irham, Bernadya, Bunga Citra Lestari, dan Rossa.
Mereka tergabung dalam Gerakan Satu Visi.
Permohonan uji materi tersebut salah satunya dipicu perkara yang menimpa Agnez Mo, yang digugat pencipta lagu "Bilang Saja", Ari Bias.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.