Sabtu, 4 Oktober 2025

MK Larang Pimpinan Organisasi Advokat Rangkap Pejabat Negara, Peradi Duga Otto Jadi Sasaran Tembak

Peradi menduga bahwa Otto Hasibuan selaku pimpinannya di organisasi menjadi sasaran tembak dari adanya putusan MK

Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Dodi Esvandi
Tribunnews.com/ Vincentius Jyestha
Kuasa Hukum Peradi, Sapriyanto Refa menduga bahwa Otto Hasibuan selaku pimpinannya di organisasi menjadi sasaran tembak dari adanya putusan MK. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pimpinan Otto Hasibuan mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang pimpinan organisasi advokat rangkap jabatan sebagai ketika ditunjuk sebagai pejabat negara.

Kuasa Hukum Peradi, Sapriyanto Refa menduga bahwa Otto Hasibuan selaku pimpinannya di organisasi menjadi sasaran tembak dari adanya putusan MK tersebut.

"Kami menduga ini sasaran tembaknya ke Pak Otto ya. Tapi kalau ke Pak Otto saya rasa enggak pas karena kan ini aturan main dalam organisasi yang harus dihargai oleh semua pihak," kata Refa saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (31/7/2025).

Dijelaskan Refa, salah satu poin yang cukup dikritisi oleh pihaknya yakni terkait pertimbangan MK soal potensi benturan kepentingan apabila pimpinan organisasi advokat merangkap jabatan sebagai Menteri atau Wamen.

Menurut Refa, benturan kepentingan itu tidak mungkin terjadi lantaran baik di organisasi advokat maupun di kementerian punya aturan sendiri yang mengatur peran seorang pejabat dalam menjalankan tugasnya.

"Kementerian punya aturan sendiri, punya UU tentang Kementerian yang memberikan tugas dan kewenangan Menteri dan Wamen. Kewenangan dia berbeda dengan apa yang menjadi kewenangan organisasi advokat yang sudah diatur dalam AD/ART-nya. Sehingga enggak mungkin terjadi benturan kepentingan," kata Refa.

Baca juga: Andri Darmawan Minta Otto Hasibuan Mundur Jadi Ketua PERADI usai Gugatannya di MK Dikabulkan

Refa menjelaskan, dalam aturan di dua lembaga itu telah membatasi segala bentuk tindakan daripada pejabat Menteri, Wamen ataupun pimpinan organisasi advokat.

Sehingga menurut dia potensi adanya benturan kepentingan itu pun nantinya tidak mungkin terjadi.

"Di Peradi misalnya, kan punya aturan main yang membatasi atau tindakan tindakan yang dilakukan Ketua Umum. Di Kementerian pun juga punya batasan, jadi gak mungkin terjadi benturan kepentingan," jelasnya.

MK sebelumnya menyatakan pimpinan organisasi advokat tidak boleh rangkap jabatan ketika mereka ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk menteri atau wakil menteri. 

MK juga melarang pimpinan organisasi advokat merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik. 

MK mengatur agar pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali alias dibatasi hanya menjabat 2 periode dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyampaikan bahwa putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa status jabatan wakil menteri ditempatkan sama dengan status yang diberikan kepada menteri. 

Sehingga, larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana norma Pasal 23 UU 39/2008 juga berlaku untuk wakil menteri. 

Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Putusan MK soal Pemilu Terpisah Bikin Prabowo Marah

"Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri seperti yang diatur dalam norma Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri," kata Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membaca pertimbangan hukum putusan uji materil UU Advokat di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).

MK kemudian menjelaskan jika pertimbangan hukum dalam kedua putusan tersebut dikaitkan dengan larangan bagi advokat sebagaimana UU 18/2003, dan larangan rangkap jabatan bagi menteri/wakil menteri dalam UU 39/2008, serta putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, hal ini sesuai larangan yang termaktub di Pasal 20 Ayat (3) UU 18/2003. 

Dalam ketentuan pasal itu, advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.

Artinya, advokat yang menjalankan tugas sebagai pejabat negara dengan sendirinya kehilangan pijakan hukum untuk menjadi pimpinan organisasi advokat. 

Mahkamah memiliki dasar kuat untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus non-aktif jika ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk menteri atau wakil menteri. 

MK menegaskan larangan tersebut dimaksudkan agar pimpinan organisasi advokat yang menjadi pejabat negara termasuk menteri atau wakil menteri, dapat terhindar dari potensi benturan kepentingan.

"Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan (conflict of interest) apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri," katanya.

Berkenaan dengan itu dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

MK menyatakan norma Pasal 28 Ayat (3) UU 18/2003 tentang Advokat sebagaimana telah dimaknai dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

"Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama baik secara berturut atau tidak, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik baik tingkat pusat maupun daerah, dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan. 

Adapun permohonan ini bercermin dari sikap advokat cum Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan yang saat ini masih menduduki jabatannya, tapi di saat bersamaan duduk di posisi Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Ia dilantik Oktober 2024 lalu di Istana Kepresidenan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved