Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Hakim: Hasto Terbukti Sediakan Rp 400 Juta untuk Operasional Suap Wahyu Setiawan
Dana tersebut, menurut hakim, digunakan sebagai biaya operasional untuk mengurus penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, terbukti secara sah dan meyakinkan menyediakan dana sebesar Rp400 juta yang ditujukan untuk menyuap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Suap adalah tindakan memberikan sesuatu—baik uang, barang, atau jasa—kepada seseorang yang memiliki kewenangan, dengan tujuan memengaruhi keputusan atau tindakan orang tersebut secara tidak sah.
Baca juga: Todung Mulya Lubis Ingatkan Jangan Ada Tom Lembong Berikutnya, PDIP Yakin Hasto Bebas
Dalam konteks hukum Indonesia, suap termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi dan diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dana tersebut, menurut hakim, digunakan sebagai biaya operasional untuk mengurus penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019–2024 bagi Harun Masiku.
Baca juga: Hasil Vonis Hasto Kristiyanto, PDIP Harap Tak Seperti Tom Lembong, Mahfud MD: Saya Tak Boleh Meramal
Pernyataan tersebut merupakan bagian dari pertimbangan dalam putusan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Jumat (25/7/2025).
"Menimbang bahwa dengan demikian, pernyataan terdakwa yang tidak menyerahkan dana Rp400 juta rupiah tidak dapat diterima dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah terdakwa yang menyediakan dana tersebut untuk operasional suap kepada Wahyu Setiawan," ujar hakim saat membacakan pertimbangan putusannya.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menegaskan adanya bukti autentik berupa komunikasi yang menguatkan fakta bahwa dana operasional sebesar Rp400 juta tersebut disiapkan oleh Hasto.
Hakim menyebutkan, dana tersebut diserahkan melalui anak buah Hasto, Kusnadi, yang sumbernya berasal dari Hasto sendiri.
"Menimbang berdasarkan analisis komprehensif terhadap bukti komunikasi yang autentik, inkonsistensi pernyataan saksi antara persidangan terdahulu dengan persidangan ini serta analisis linguistik yang memperkuat interpretasi komunikasi, majelis berkesimpulan bahwa dana Rp400 juta yang diserahkan Kusnadi kepada Donny Tri Istiqomah pada 16 Desember 2019 berasal dari Terdakwa bukan dari Harun Masiku sebagaimana yang dipersidangkan terlebih dahulu," papar hakim.
Pertimbangan hakim ini menjadi salah satu poin krusial dalam sidang vonis Hasto Kristiyanto yang menyita perhatian publik.
Kasus ini berpusat pada upaya untuk menjadikan Harun Masiku sebagai anggota DPR menggantikan caleg terpilih yang meninggal dunia.
Meskipun demikian, dalam pertimbangan yang sama, majelis hakim menyatakan unsur perintangan penyidikan yang dilakukan Hasto dalam perkara Harun Masiku tidak terpenuhi.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan untuk kedua dakwaan tersebut.
Perjalanan Kasus Hasto
Hasto Kristiyanto pertama kali ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK pada 24 Desember 2024 lalu.
Hasto lantas menjalani sidang perdana sebagai terdakwa pada 14 Maret 2025 lalu.
Kemudian, Hasto didakwa melakukan dua tindak pidana yaitu dugaan suap dan perintangan penyidikan.
Terkait dugaan suap, Hasto disebut bersama tersangka lainnya yaitu advokat Donny Tri Istiqomah; eks kader PDIP, Saeful Bahri; dan Harun Masiku; dalam kurun waktu Juni 2019-Januari 2020.
Dalam melakukan suap tersebut, Hasto menyediakan uang sebesar Rp600 juta untuk diberikan kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022, Wahyu Setiawan.
"Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan mengupayakan agar KPU RI menyetujui permohonan PAW (pergantian antarwaktu) Caleg Terpilih dapil Sumsel 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku," kata jaksa KPK dalam sidang perdana pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada 14 Maret 2025.
Jaksa menyebut, Hasto turut dibantu anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat itu, Agustiani Tio Fridelina, yang memiliki kedekatan dengan Wahyu.
Atas permintaan Saeful Bahri tersebut, Agustiani Tio Fridelina menghubungi Wahyu Setiawan untuk pengurusan penggantian Caleg Terpilih Dapil Sumsel-1 dari Riezki Aprilia kepada Harun Masiku.
Selanjutnya, pemberian suap kepada Wahyu oleh Hasto tidak dilakukan sekali bayar tetapi secara bertahap tergantung tahapan permohonan PAW terhadap Harun Masiku.
"Bahwa Terdakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku telah memberi uang sejumlah SGD 57,350.00 atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI periode 2017-2022," jelas jaksa.
"Bersama-sama Agustiani Tio Fridelina dengan maksud supaya Wahyu Setiawan bersama-sama Agustiani Tio Fridelina mengupayakan KPU RI menyetujui permohonan PAW Caleg Terpilih Dapil Sumsel-1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku," imbuhnya.
Mengenai dakwaan perintangan penyidikan, jaksa mengatakan, Hasto memperoleh informasi, KPK bakal melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus Harun Masiku ini.
Awalnya, jaksa mengatakan, KPK melakukan OTT terhadap Wahyu Setiawan yang ketika itu menjabat sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Bandara Soekarno Hatta.
Penangkapan tersebut, karena Wahyu disebut menerima suap untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR lewat PAW untuk periode 2019-2024.
Pada saat bersamaan, jaksa mengatakan, Hasto mengetahui Wahyu terjaring OTT KPK sekitar pukul 18.19 WIB.
Saat itulah Hasto memerintahkan Harun Masiku agar merendam ponselnya dan kabur.
"Kemudian terdakwa melalui Nurhasan memberikan perintah kepada Harun Masiku agar merendam telepon genggam miliknya ke dalam air dan memerintahkan Harun Masiku untuk menunggu di kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh petugas KPK," kata jaksa.
Selanjutnya, Nurhasan bertemu Harun Masiku di Hotel Sofyan Cut Mutia, Jakarta Pusat, sekira pukul 18.35 WIB.
KPK disebut tidak bisa melacak handphone Harun Masiku pada pukul 18.52 WIB.
Lantas, penyidik KPK memantau keberadaan Harun Masiku lewat ponsel milik Nurhasan dan terpantau berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Kemudian, Jaksa menambahkan, petugas KPK mendatangi PTIK, namun tidak berhasil menemukan Harun Masiku.
Atas perbuatannya, Hasto dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Dalam perkembangannya, Hasto dituntut tujuh tahun penjara dan denda Rp600 juta subsidair enam bulan penjara oleh jaksa dalam kasus Harun Masiku ini pada 3 Juli 2025 lalu.
Adapun hal yang memberatkan adalah Hasto dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
"(Hal memberatkan lainnya) terdakwa tidak mengakui perbuatannya," kata jaksa.
Sementara, hal yang meringankan, adalah terdakwa bertindak sopan selama persidangan, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.
Atas tuntutan tersebut, jaksa menganggap berdasarkan fakta persidangan, Hasto telah memenuhi unsur Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Dasco Tegaskan Dukungan PDIP untuk Pemerintah Prabowo Tidak Terkait Amnesti Hasto Kristiyanto |
---|
Sosok Hasto Kristiyanto, Tersangka Suap Eks Komisioner KPU Diberi Amnesti Oleh Presiden Prabowo |
---|
Apa Itu Amnesti yang Didapat Hasto dari Presiden Prabowo? |
---|
Soal Banding Terhadap Vonis Hasto Kristiyanto, Ketua KPK: Tunggu Sampai Besok |
---|
KPK Ajukan Banding Atas Vonis 3,5 Tahun Penjara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.