UU Pemilu
Mahfud MD Sebut Putusan MK yang Berujung Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Inkonstitusional, Tapi Final
Pakar hukum Tata Negara, Mahfud MD, menyebut putusan MK yang berujung pada perpanjangan masa jabatan DPRD sebagai putusan inkonstitusional.
Penulis:
Igman Ibrahim
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus pakar hukum Tata Negara, Mahfud MD, menyebut putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang berujung pada perpanjangan masa jabatan DPRD sebagai putusan yang inkonstitusional.
Namun, putusan itu tetap bersifat final dan mengikat.
Hal itu disampaikan Mahfud dalam diskusi publik yang digelar Partai Golkar di Kantor DPP Golkar, Jakarta, Kamis (24/7/2024).
Diskusi itu membahas khusus dampak putusan MK terhadap pelaksanaan pemilu nasional dan daerah ke depan.
“Putusan MK kalau ditanya bagaimana sih ini? Ya memang menimbulkan kontroversi, menimbulkan tudingan-tudingan, termasuk saya kena tuding, kena semprot juga karena saya mantan Ketua MK,” kata Mahfud.
Baca juga: DPR Harus Libatkan Seluruh Pemangku Kepentingan Bahas Revisi UU Pemilu Buntut Putusan MK
Menurutnya, inkonstitusionalitas muncul karena perpanjangan jabatan itu tidak memiliki dasar konstitusional.
“Inkonstitusional kenapa? Jabatan itu kan lima tahunan, kok tiba-tiba diperpanjang. Yang boleh memperpanjang jabatan itu kan hanya konstitusi itu sendiri,” ujarnya.
Lebih lanjut, Mahfud menyebut MK telah menunjukkan inkonsistensi dalam sejumlah putusannya terkait desain pemilu nasional dan daerah.
Baca juga: DPR Harus Libatkan Seluruh Pemangku Kepentingan Bahas Revisi UU Pemilu Buntut Putusan MK
Ia menyinggung perbedaan tafsir dalam Putusan Nomor 14 Tahun 2013, Putusan Nomor 55 Tahun 2019, dan putusan terbaru, yakni Nomor 135.
“Katanya tadi konstitusional semua, lalu dipilih satu, lalu ditentukan jadwalnya. Itu sebenarnya tidak boleh. Tidak punya wewenang. MK itu tidak punya wewenang. Karena apa? Itu open legal policy, urusan jadwal pemilu itu urusan eksekutif, urusan pembentuk undang-undang,” jelasnya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa putusan MK tetap bersifat final dan mengikat. Meskipun putusan tersebut menuai kritik atau dinilai salah.
“Tetapi, saudara, putusan MK final. Kata Pak Sarmuji tadi, ‘Sudah final gimana ya?’ Meskipun salah, ya kembali ke final lagi,” katanya.
Tawarkan Lima Skema
Mahfud pun menawarkan lima alternatif skema solusi menyikapi putusan MK tersebut, di antaranya:
1. DPRD dan Kepala Daerah diperpanjang melalui Undang-Undang, tanpa Pemilu.
2. Kepala Daerah diangkat penjabat, DPRD dipilih lewat Pemilu sela.
3. Kepala Daerah dan DPRD diperpanjang semua lewat Undang-Undang tanpa Pemilu sela.
4. Pemilu sela untuk DPRD dan Kepala Daerah sekaligus dalam periode peralihan.
5. Kembali ke Pilkada lewat DPRD.
Selain, menawarkan lima alternatif skema tersebut, Mahfud mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi dua undang-undang utama yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada.
“Yang terbaik untuk tidak menimbulkan keributan atau mencicil agar keributan itu tidak menumpuk di suatu saat, segera dari sekarang dipikirkan dari alternatif. Saya tadi kasih lima, bisa jadi sepuluh. Itu bisa bervariasi, bisa berkombinasi,” katanya.
Mahfud mengingatkan bahwa MK seharusnya tidak memasuki wilayah kebijakan terbuka atau open legal policy yang merupakan hak pembentuk undang-undang.
“MK tidak boleh mencampuri apa yang kata MK jelek tapi tidak melanggar konstitusi. Jelek tidak apa-apa tapi tidak melanggar konstitusi. Karena tugas MK itu membatalkan yang salah, bukan membatalkan yang menurut dia jelek,” ucapnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah tidak lagi digelar secara serentak dalam waktu yang bersamaan.
Ke depan, Pemilu akan dibagi menjadi dua tahap yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal (daerah) dengan jeda maksimal dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan.
Putusan itu dibacakan dalam sidang perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Secara teknis, Pemilu nasional akan mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, dan DPD RI.
Sementara itu, pemilu lokal akan mencakup pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
MK menyatakan bahwa pelaksanaan serentak dalam satu waktu untuk seluruh jenis pemilu menimbulkan banyak persoalan, seperti beban berat penyelenggara pemilu, penurunan kualitas tahapan, serta kerumitan logistik dan teknis.
Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum.
MK menilai ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 jika dimaknai sebagai kewajiban melaksanakan seluruh pemilu pada waktu yang sama.
Karena itu, MK memberi penafsiran baru bahwa pemungutan suara dilakukan dalam dua tahap, pertama untuk pemilu nasional, lalu beberapa waktu setelahnya untuk pemilu lokal.
Norma-norma lain terkait teknis pelaksanaan pemilu juga wajib disesuaikan dengan penafsiran baru MK tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.