Senin, 29 September 2025

Forum APTF 2025 Dorong Integrasi Zakat dan Pajak untuk Pertumbuhan Ekonomi Inklusif

Diskusi yang berlangsung dinamis menyoroti pentingnya harmonisasi zakat dan pajak sebagai strategi untuk menciptakan keadilan sosial

HO/IST
INTEGRASI ZAKAT - Forum diskusi bertajuk “Harmonizing Taxation and Islamic Philanthropy for Inclusive Economic Growth” pada rangkaian Asian Philanthropy Thought Forum (APTF) 2025 menghadirkan pandangan strategis tentang pentingnya integrasi zakat dalam sistem fiskal nasional. Forum ini diikuti para akademisi, praktisi ekonomi Islam, pengelola zakat dan wakaf, serta pembuat kebijakan. (HO/IST)   

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  — Integrasi antara zakat dan pajak menjadi sorotan utama dalam forum diskusi bertajuk “Harmonizing Taxation and Islamic Philanthropy for Inclusive Economic Growth” yang digelar dalam rangkaian Asian Philanthropy Thought Forum (APTF) 2025, belum lama ini.

Forum ini diikuti para akademisi, praktisi ekonomi Islam, pengelola zakat dan wakaf, serta pembuat kebijakan dari berbagai negara.

Diskusi yang berlangsung dinamis menyoroti pentingnya harmonisasi zakat dan pajak sebagai strategi untuk menciptakan keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Perwakilan dari Malaysia, Dato’ Khodijah, menyampaikan bahwa negaranya telah menerapkan kebijakan yang mengakui zakat sebagai pengurang pajak. “Zakat harus dipandang sebagai instrumen untuk memastikan inklusivitas sumber daya bagi masyarakat yang membutuhkan, sekaligus mendorong kepatuhan pajak tanpa beban berganda,” ujarnya, dikutip Jumat (18/7/2025).

Dari Indonesia, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI, Prof. Dr. H. Waryono Abdul Ghofur, menekankan pentingnya penguatan sistem dan tata kelola zakat.

Baca juga: Pendaftaran Beasiswa Zakat Indonesia 2025 Diperpanjang hingga Besok, Segera Daftar, Ini Syaratnya

Ia menyebut bahwa pada 2024, pengumpulan zakat nasional diperkirakan mencapai Rp 40,5 triliun, sementara wakaf baru sekitar Rp 3,2 triliun.

“Masyarakat sering kali kebingungan karena zakat belum sepenuhnya terintegrasi dengan pajak, sehingga terasa sebagai beban ganda,” kata Waryono. Ia menambahkan, “Solusinya adalah integrasi regulasi zakat, wakaf, dan pajak dalam sistem terpadu serta penyusunan basis data penerima manfaat zakat yang lebih komprehensif.”

Ekonom INDEF sekaligus Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza, menjelaskan bahwa landasan hukum untuk integrasi zakat-pajak sebenarnya sudah tersedia. “Indonesia memiliki sejumlah peraturan seperti UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 7 Tahun 2021, UU Zakat, dan UU Wakaf. Ini menjadi pijakan kuat untuk mengakui zakat sebagai bagian dari sistem fiskal nasional,” ujarnya.

Ia juga menyoroti kesenjangan besar antara potensi dan realisasi zakat. “Potensi zakat kita lebih dari Rp 300 triliun atau sekitar 10 persen dari PDB. Namun, realisasi pengumpulannya baru sekitar Rp 40 triliun. Artinya, ada ruang besar yang perlu dijembatani dengan kebijakan yang lebih terintegrasi,” kata Handi.

Forum turut mengangkat sejumlah tantangan implementasi, seperti terbatasnya bukti pembayaran zakat yang bisa diverifikasi untuk keperluan perpajakan, belum adanya integrasi penuh antara data muzaki dan wajib pajak, serta perlunya pengakuan profesional bagi amil zakat.

“Harmonisasi zakat dan pajak bukan hanya soal regulasi fiskal, tetapi juga tentang bagaimana strategi distribusi sosial dapat berjalan lebih adil, efisien, dan sesuai nilai-nilai Islam,” tutur Handi menutup sesi diskusi. (Hasiolan EP/Tribunnews.com)

 

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan