RUU KUHAP
Daftar 17 Poin Bermasalah di RUU KUHAP yang Jegal Kewenangan KPK
KPK jabarkan 17 poin krusial di RKUP yang dinilai tidak sinkron berpotensi mengebiri kewenangan khusus yang dimiliki KPK
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara terbuka menyuarakan kekhawatirannya terhadap draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Lembaga antirasuah tersebut telah mengidentifikasi setidaknya 17 poin krusial yang dinilai tidak sinkron dan berpotensi mengebiri kewenangan khusus yang dimiliki KPK dalam memberantas korupsi.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa temuan ini merupakan hasil dari diskusi dan kajian mendalam di internal lembaga.
Catatan kritis tersebut akan segera disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai masukan resmi dalam proses legislasi.
"Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan dan ini masih terus kami diskusikan," kata Budi dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).
Kekhawatiran utama KPK berpusat pada potensi degradasi status hukum UU KPK sebagai lex specialis (undang-undang khusus) yang seharusnya mengesampingkan hukum acara umum.
Baca juga: Komisi III DPR Sebut RUU KUHAP Masih Bisa Berubah Sebelum Diparipurnakan
Menurut KPK, RKUHAP memuat pasal-pasal yang dapat meniadakan kekhususan tersebut, sehingga mengancam efektivitas kerja KPK mulai dari tahap penyelidikan hingga penuntutan.
Berikut adalah daftar 17 poin catatan kritis KPK terhadap RKUHAP:
1. Ancaman terhadap Asas Lex Specialis: Kewenangan khusus penyelidik dan penyidik KPK yang dijamin UU KPK dan putusan MK berpotensi dianggap bertentangan dengan RKUHAP karena adanya norma "...sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini".
2. Keberlanjutan Penanganan Perkara: Pasal peralihan RKUHAP dapat memaksa penanganan perkara korupsi oleh KPK hanya berpedoman pada KUHAP, mengabaikan hukum acara khusus dalam UU Tipikor dan UU KPK.
3. Penyelidik KPK Tidak Diakomodir: RKUHAP menyebut penyelidik hanya berasal dari Polri, menafikan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidiknya sendiri.
4. Penyempitan Definisi Penyelidikan: RKUHAP membatasi penyelidikan hanya untuk "mencari peristiwa pidana", padahal penyelidikan KPK sudah sampai pada tahap menemukan minimal dua alat bukti.
5. Devaluasi Keterangan Saksi di Tahap Awal: RKUHAP hanya mengakui keterangan saksi yang diperoleh di tahap penyidikan ke atas, padahal KPK sudah mengumpulkan alat bukti, termasuk keterangan saksi, sejak penyelidikan.
Baca juga: Revisi KUHAP, Komnas Perempuan Usulkan Larangan Stereotipe Gender oleh Hakim di Persidangan
6. Penetapan Tersangka Terikat Tahapan: RKUHAP mengaitkan penetapan tersangka dengan tahap penyidikan, sementara KPK menetapkan tersangka berdasarkan temuan dua alat bukti, yang bisa didapat sejak penyelidikan.
7. Intervensi dalam Penghentian Penyidikan: RKUHAP mensyaratkan keterlibatan penyidik Polri dalam penghentian penyidikan, padahal mekanisme internal KPK adalah melalui pemberitahuan kepada Dewan Pengawas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.