UU Pemilu
JPPR Sebut Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah Inkonstitusional
Koordinator Nasional JPPR, Rendy Umboh, menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2023 inkonstitusional.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy Umboh, menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2023 inkonstitusional.
Khususnya dalam bagian yang memisahkan pelaksanaan pemilu DPRD dari pemilu nasional.
Ia menilai MK telah melampaui kewenangannya sebagai lembaga yudisial dan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi ranah legislatif.
“Putusan kali ini inkonstitusional, dalam konteks pemilu DPRD-nya. MK telah memutus agar pemilu DPRD dilaksanakan dua tahun atau dua setengah tahun setelah pemilu 2029. Ini jelas menabrak konstitusi,” ujar Rendy saat dikonfirmasi, Rabu (2/7/2025).
Menurutnya, Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Baca juga: Yusril Ungkap Putusan MK Soal Pemilu Dipisah Munculkan Masalah Baru
Dengan memisahkan waktu pelaksanaan pemilu DPRD dan memperpanjang masa jabatan anggota DPRD tanpa pemilu, MK dinilai melahirkan norma baru yang tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi tersebut.
"MK kedudukannya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, konstitusionalitasnya. Kalau sudah jelas di Undang-Undang Dasar, tidak boleh dia buat norma baru," tuturnya.
Rendy juga menilai MK telah melangkahi kewenangannya sebagai negative legislature, yaitu lembaga yang seharusnya hanya menguji dan membatalkan norma yang inkonstitusional, bukan membentuk norma baru.
Baca juga: Mendagri Tito Kaji Putusan MK Pisahkan Pemilu: Apakah Sesuai dengan Konstitusi
Dengan menentukan waktu pelaksanaan pemilu DPRD pasca 2029, MK dinilai mengambil alih kewenangan Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sebagai positive legislature.
“Jangan jadikan putusan final dan mengikat MK ini seakan-akan dia itu berkuasa ya kan, berkuasa penuh. Enggak boleh. Ada yang lebih tinggi dari MK, siapa? Undang-Undang Dasar 1945," kata Rendy.
Ia pun mengingatkan bahwa segala perubahan terhadap ketentuan dasar negara hanya bisa dilakukan oleh MPR melalui mekanisme Pasal 37 UUD 1945, bukan oleh MK melalui tafsir dalam putusan perkara.
Meski demikian, Rendy mengapresiasi bagian putusan MK yang memisahkan pilkada dari pemilu nasional.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.