Senin, 29 September 2025

Sekolah Gratis

PDIP Desak Pemerintah Serius Laksanakan Putusan MK soal Sekolah Tanpa Pungutan Biaya

Putusan MK wajibkan negara tanggung biaya pendidikan dasar, termasuk di sekolah swasta dinilai sebagai langkah nyata melanjutkan perjuangan Bung Karno

Tribunnews.com/Fransiskus Adhiyuda
SEKOLAH GRATIS - Kepala Badan Sejarah Indonesia PDI Perjuangan (PDIP), Bonnie Triyana dalam Seminar Nasional dengan tema ‘Mewujudkan Amanat Konstitusi, Pendidikan Dasar Gratis Untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing’ yang digelar DPP PDIP di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6/2025). (Fransiskus Adhiyuda). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Sejarah Indonesia PDI Perjuangan (PDIP), Bonnie Triyana menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 terkait pembebasan biaya pendidikan dasar di sekolah swasta sebagai langkah historis yang menghancurkan tembok diskriminasi sosial bidang pendidikan.

Hal itu disampaikan Bonnie dalam Seminar Nasional dengan tema ‘Mewujudkan Amanat Konstitusi, Pendidikan Dasar Gratis Untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing’ yang digelar DPP PDIP di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6/2025).

“Putusan MK ini memecahkan persoalan pendidikan yang sudah lama bersifat diskriminatif karena status ekonomi. Sekarang kita hancurkan tembok diskriminasi itu, sehingga setiap orang bisa sekolah, tidak lagi terdiskriminasi,” kata Bonnie.

Menurut Bonnie, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang mengamanatkan pendidikan dasar dan menengah tanpa pungutan biaya, termasuk di sekolah swasta, adalah langkah progresif yang harus disambut dengan keseriusan penuh oleh Pemerintah

Apalagi hal ini bukan sekadar keputusan hukum biasa, melainkan manifestasi konkret dari cita-cita luhur bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial dan martabat kemanusiaan melalui pendidikan yang merata.

Bonnie yang menjadi moderator seminar, menyoroti bentuk ketidakadilan dalam akses pendidikan bukan hal baru di Indonesia. 

Menurutnya, pada masa kolonial, hanya anak-anak dari kalangan bangsawan atau elite pribumi yang dapat mengakses pendidikan tinggi. 

Dia juga merujuk pada gambaran diskriminasi sosial dalam novel Para Priyayi, karya Umar Kayam, yang menceritakan kisah seorang anak pedagang tempe bernama Lantip.

“Lantip ini tidak bisa sekolah karena dia anak orang kecil. Tetapi ketika dipungut oleh keluarga Sastrodarsono yang seorang priyayi, status sosialnya naik dan dia bisa sekolah. Itu di zaman kolonial,” kata Bonnie.

Baca juga: Abdul Muti Sebut Putusan MK soal Sekolah Gratis Harus Dilaksanakan, tapi Ngobrol Dulu dengan Menkeu

Dia menambahkan, pada masa Belanda pun sekolah dibagi berdasarkan kelas sosial.

“Sekolah tinggi seperti Europeesche Lagere School dan sekolah hukum hanya bisa diakses anak-anak elite. Sementara rakyat biasa hanya bisa masuk sekolah rakyat seperti Ongko Loro, yang paling banter hanya melahirkan buruh atau pekerja kasar,” ungkap anggota Komisi X DPR RI ini. 

Menurut Bonnie, hal tersebut menjelaskan kenapa saat Indonesia merdeka, sekitar 80 persen dari 62 juta rakyatnya tidak bisa membaca. 

“Hanya sedikit lapisan elite yang bisa baca tulis dan memiliki kualitas pendidikan yang memadai,” kata Bonnie.

Dia pun mengaitkan putusan MK ini dengan cita-cita Bung Karno yang sejak awal kemerdekaan menyadari pentingnya pendidikan merata. 

Legislator asal Banten ini menyebut, Bung Karno di era 1950-an bahkan menginisiasi gerakan pemberantasan buta huruf dan terjun langsung mengajar rakyat.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan