Safenet Benarkan Komdigi Minta Akun X Buat Cuitan Kasus Nikel dan Tragedi 1998 agar Dihapus
Safenet membenarkan Komdigi minta cuitan di X yang membahas soal kasus nikel di Raja Ampat dan tragedi Mei 1998 untuk dihapus.
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Nenden Sekar Arum, membenarkan adanya permintaan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menghapus cuitan dari akun X yang membahas soal kasus tambang nikel di Raja Ampat dan tragedi Mei 1998.
Nenden mengatakan hal tersebut diketahui dari adanya aduan ke pihaknya dari akun-akun yang membahas dua topik tersebut.
Namun, dia belum mengetahui secara pasti terkait jumlah akun yang melakukan aduan.
"Yang pasti konten yang diminta diturunkan oleh Komdigi memang yang berhubungan dengan isu 98 dan nikel (di Raja Ampat)."
"Aku perlu cek dulu apakah ada aduan lain yang masuk," katanya kepada Tribunnews.com, Jumat (20/6/2025).
Nenden mengungkapkan pihaknya juga masih mengurasi konten-konten dengan topik apa saja yang diminta Komdigi untuk dihapus.
Jika kurasi sudah rampung, maka Safenet akan menyusun rencana advokasi dan mendesak agar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 dicabut.
"Kami mau melihat dulu sebanyak apaa aduannya, dan konten-konten apa saja yang diminta diturunkan."
"Setelah itu baru disusun rencana advokasinya, termasuk melanjutkan desakan untuk mencabut Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 yang jadi dasar penurunan konten," jelasnya.
Baca juga: Komdigi Diduga Minta Akun X Buat Cuitan soal Kasus Nikel Raja Ampat dan Tragedi 1998 agar Dihapus
Di sisi lain, Safenet sebenarnya sudah mendesak pemerintah untuk mencabut Permenkominfo tersebut sejak tahun 2021 lalu.
Dalam rilis pers yang dikirimkan Nenden, peraturan menteri (permen) tersebut dinilai berpotensi membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik.
"Satu tahun setelah penerapan peraturan menteri tersebut, Koalisi Advokasi Permenkominfo No. 5/2020 masih tetap berpegang pada posisi bahwa ada peraturan tersebut bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam pemenuhan HAM yang sesuai dengan standar hukum internasional, terutama untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat," demikian isi dari rilis pers tersebut.
Ada tiga pasal yang dinilai menjadi alat pemerintah untuk membatasi kebebasan tersebut yaitu Pasal 9 ayat 3 dan 4, Pasal 14, dan Pasal 36.
Berikut bunyi dari masing-masing pasal yang tertuang dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020:
Pasal 9
(3) PSE Lingkup Privat wajib memastikan:
a. Sistem elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang; dan
b. Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.
(4) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi:
a. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; dan
c. memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang.
Pasal 14
(1) Permohonan Pemutusan Akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat diajukan oleh:
a. masyarakat;
b. Kementerian atau Lembaga;
c. Aparat Penegak Hukum; dan/atau
d. lembaga peradilan
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui:
a. situs web (website) dan/atau aplikasi;
b. surat non elektronik; dan/atau
c. surat elektronik (electronic mail).
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mendesak dalam hal:
a. terorisme;
b. pornografi anak; atau
c. konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Pasal 36
(1) PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Lalu Lintas (traffic data) dan Informasi Pengguna Sistem Elektronik (Subscriber Information) yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada Narahubung PSE Lingkup Privat.
(2) Permintaan akses terhadap Data Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan:
a. dasar kewenangan Aparat Penegak Hukum;
b. maksud dan tujuan serta kepentingan permintaan;
c. deskripsi secara spesifik jenis Data Elektronik yang diminta;
d. tindak pidana yang sedang disidik, dituntut, atau disidangkan.
(3) PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Konten Komunikasi yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi
kepada PSE Lingkup Privat.
(4) Permintaan akses terhadap Konten Komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melampirkan:
a. dasar kewenangan Aparat Penegak Hukum;
b. maksud dan tujuan serta kepentingan permintaan;
c. deskripsi secara spesifik jenis Data Elektronik yang diminta;
d. tindak pidana yang sedang disidik, dituntut, atau disidangkan;
e. surat penetapan dari ketua pengadilan negeri dalam wilayah mana Institusi Penegak Hukum tersebut memiliki kewenangan.
(5) PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Pribadi Spesifik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Akun yang Diminta Hapus Cuitan soal Tambang Nikel Raja Ampat dan Tragedi Mei 1998
Sebelumnya, beberapa akun di X mengunggah tangkapan layar yang memperlihatkan pesan dari X terkait permintaan Komdigi agar menghapus cuitan yang membahas terkait kasus tambang nikel di Raja Ampat dan tragedi Mei 1998.
Akun pertama bernama @ @MurtadhaOne1 mengunggah tangkapan layar berisi permintaan dari Komdigi kepada X agar akun tersebut menghapus unggahannya.
"Dalam rangka transparansi, kita menginformasikan kepadamu bahwa X menerima permintaan dari Kementerian Komunikasi dan Digital RI mengenai akun X Anda yang diklaim konten yang dibuat telah melanggar hukum di Indonesia," demikian isi dari pesan yang dikirimkan pihak X.
Adapun, unggahan dari akun X tersebut merupakan video yang diunggah ulang olehnya dari Kompas TV dan Kompas.com terkait kesaksian para saksi mata dan keluarga korban terkait pemerkosaan massal saat tragedi 1998.
Sementara, maksud dari unggahan video tersebut untuk membandingkan dengan pernyataan Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, yang menyebut tidak ada bukti kuat soal pemerkosaan massal saat Mei 1998.
Selanjutnya, akun kedua bernama @perupadata yang memperoleh pesan serupa seperti akun X sebelumnya.
Akun tersebut juga diduga diminta oleh Komdigi untuk menghapus cuitan terkait kritik terhadap pernyataan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan pada Mei 1998.
Berdasarkan unggahannya, pesan tersebut dikirim pada Rabu (18/6/2025).
Pesan yang sama juga diterima oleh akun @neohistoria_id di mana pihaknya diduga diminta oleh Komdigi untuk menghapus terkait konten soal utas yang menyoroti sikap Wiranto saat masih menjabat sebagai Panglima ABRI ketika tragedi Mei 1998.
Tak cuma itu, akun tersebut juga menyoroti pernyataan Wiranto yang menyebut tidak terjadinya pemerkosaan saat tragedi Mei 1998.
Permintaan serupa juga dialami oleh akun X milik peneliti bernama Zakki Amali.
Adapun konten yang diduga diminta oleh Komdigi untuk dihapus adalah terkait cuitannya soal kasus tambang nikel di Raja Ampat.
"Menambahkan: Hal lain yang tidak dikatakan Bahlil adalah ada 22 tambang nikel yang pernah tercatat di Raja Ampat."
"Jika mereka aktif semua, total luasnya sekitar 119 ribu ha atau 15 persen dari luas daratan Raja Ampat. Itu belum termasuk empat tambang batubara yang juga pernah tercatat," tulisnya mengomentari unggahan Greenpeace terkait kasus yang sama pada Selasa (17/6/2025).
Tribunnews.com telah menghubungi Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, untuk mengonfirmasi terkait benar atau tidaknya permintaan Komdigi untuk menghapus cuitan dari akun X di atas.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, dirinya belum memberikan respons.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.