Rabu, 1 Oktober 2025

Pengamat Usul Pemerintah Kaji Ulang Kebijakan Restriktif di Sektor Padat Karya, Ini Catatannya

CIPS mengusulkan kepada pemerintah untuk mengurangi atau menghapus berbagai kebijakan yang membatasi keberlangsungan sektor - sektor padat karya.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Wahyu Aji
TRIBUN BATAM
Aktivitas industri manufaktur di Pulau Batam - CIPS mengusulkan kepada pemerintah untuk mengurangi atau menghapus berbagai kebijakan yang membatasi keberlangsungan sektor - sektor padat karya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengusulkan kepada pemerintah untuk mengurangi atau menghapus berbagai kebijakan yang membatasi keberlangsungan sektor - sektor padat karya.

Hal ini diperlukan untuk meningkatkan daya saing usaha domestik, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Salah satu langkahnya adalah dengan mengurangi berbagai restriksi pasar, hambatan non-tarif, perizinan yang rumit atau sertifikasi wajib yang menyulitkan.

“Dapat dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan berbagai restriksi pasar, hambatan-hambatan non-tarif, perizinan yang rumit, atau sertifikasi wajib yang menyulitkan pengusaha, terutama pengusaha mikro dan kecil, yang menjadi motor perekonomian yang sehat," kata CEO Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Anton Rizki Sulaiman dalam keterangannya, Selasa (10/6/2025).

Anton menegaskan pentingnya bagi pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang terbuka dan kemudahan berusaha, guna mendukung tumbuhnya industri padat karya.

"Membangun industri dan lapangan pekerjaan sangat penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat," katanya.

Menurut Anton, tanpa perubahan pendekatan dalam kebijakan industrialisasi, sektor industri akan kesulitan menjadi motor pertumbuhan. 

Terlebih, terjadi penurunan nilai tambah sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia selama 20 tahun terakhir, dari 28,06 persen pada 2004 menjadi 18,67 persen di tahun 2023. 

Angka ini disebut jauh di bawah dari negara - negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand yang punya nilai tambah manufaktur di angka 23 persen dari PDB negaranya.

"Angka tersebut jauh di bawah negara-negara tetangga Indonesia seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand yang nilai tambah sektor manufakturnya berada di sekitar angka 23 persen dari PDB masing-masing negara," katanya.

Ia mengingatkan bahwa industri padat karya, seperti manufaktur, pertanian, perkebunan, perikanan, konstruksi, makanan-minuman, dan pengolahan tembakau, telah lama menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. 

Sektor ini bukan cuma banyak menyerap tenaga kerja tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. 

Sebagai contoh, industri tekstil dan garmen menyerap sekitar 3 juta tenaga kerja, industri alas kaki menyerap sekitar 1 juta tenaga kerja, dan industri furnitur menyerap sekitar 500 ribu tenaga kerja. Industri hasil tembakau sendiri menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja dan berkontribusi besar pada penerimaan negara melalui cukai dan pajak.

Terpisah, Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI), Haryo Kuncoro melihat kualitas industri padat karya yang alami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Menurutnya tanda-tanda penurunan ini sudah terlihat sejak awal tahun lalu, terutama di sektor tekstil yang mengalami penurunan pasar di Jakarta dan sekitarnya. 

"Sekarang ini kemudian banyak PHK, tutup, itu sebetulnya adalah rentetan peristiwa yang terhubung dengan sebelum-sebelumnya," ujar Haryo.

Guna mengatasi hal ini, Haryo menekankan pentingnya reindustrialisasi yang berfokus pada sektor-sektor padat karya

"Investasi yang ada mestinya diarahkan ke sana. Jangan saja yang gede-gede yang padat modal, tetapi juga yang padat karya," lanjut dia.

Haryo menilai bahwa regulasi seperti insentif dari Bank Indonesia (BI), kredit, kebijakan legislatif, dan program makro memerlukan desain besar yang jelas. Hal ini dianggap penting untuk memetakan sektor-sektor padat karya yang perlu diprioritaskan. 

"Reindustrialisasi dengan menata ulang, itu desain besar untuk memetakan sektor-sektor padat karya yang memang perlu, itu butuh segera untuk dilakukan," tegasnya. 

Selain itu, Haryo juga menekankan perlindungan pekerja sebagai aspek kunci dalam pengembangan industri padat karya.

Regulasi yang menjamin upah layak, jaminan sosial, dan keselamatan kerja jadi poin penting untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. 

Baca juga: PHK Meluas ke Sektor Non-Padat Karya, Wamenaker Masih Fokus Soal Perusahaan Tahan Ijazah

"Jadi kita tidak bisa bertopang pada upah murah, tapi upah yang reasonable dalam konteks ekonomi. Supaya itu persepsinya sama, bahwa sektor padat karya itu bukan hanya yang menyerap banyak tenaga kerja, tapi juga yang menutupi remunerasi," ucap dia.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved