Ijazah Jokowi
Polemik Ijazah Jokowi dan Mosi Tidak Percaya BEM UGM pada Rektor, Rocky Gerung: Paradoks Akademis
Menurut Rocky Gerung, UGM gagal memenuhi permintaan etis terkait pembuktian keabsahan ijazah Jokowi.
TRIBUNNEWS.COM - Pendiri SETARA Institute Rocky Gerung menyoroti sikap Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) yang melayangkan mosi tidak percaya kepada sang rektor, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D.
BEM KM UGM juga menuntut agar rektor mereka menyatakan mosi tidak percaya kepada lembaga negara, mengingat kondisi Indonesia yang saat ini dinilai tidak sedang baik-baik saja.
Menurut Rocky, sikap BEM KM UGM tersebut mencerminkan paradoks akademis.
Hal ini dia sampaikan dalam video yang diunggah di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa (27/5/2025).
"Ini sungguh-sungguh paradoks akademis, bahwa mahasiswa UGM meminta rektornya memberi mosi tidak percaya pada presiden, lembaga negara, atau pemerintah." papar Rocky.
Adapun sikap mosi tidak percaya yang dilayangkan BEM UGM mencuat di tengah dinamika politik saat ini, termasuk bergulirnya polemik keaslian ijazah milik Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Rocky Gerung, UGM gagal memenuhi permintaan etis terkait pembuktian keabsahan ijazah Jokowi.
Sampai-sampai, polemik ijazah Jokowi itu melibatkan Bareskrim Polri.
"Kita lihat bagaimana tekanan publik terhadap isu Jokowi ini akhirnya diselesaikan oleh Bareskrim," ujar Rocky.
"Kan konyol bahwa untuk membuktikan sesuatu yang bisa diselesaikan secara etis atau dengan sistem pembuktian akademis di UGM, UGM sendiri tidak mau melakukan itu sehingga mesti kirim ke Bareskrim," imbuhnya.
"Sebetulnya itu yang terjadi. UGM tidak mampu untuk memenuhi permintaan etis terhadap pembuktian legalitas itu. Atau, dia membuktikan, tapi enggak ada yang percaya, sehingga harus dikirim ke Bareskrim," lanjut Rocky.
"Jadi, Bareskrim menjadi semacam wilayah yang harus menampung problem yang dimulai di UGM," tambah mantan dosen filsafat di Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Baca juga: Roy Suryo Sediakan Jokowi Panggung Politik Lewat Polemik Tudingan Ijazah Palsu, Analisis Pengamat
Rocky Gerung juga menduga, ada skandal tertentu di mana kampus bisa menjadi pembenar kekuasaan pemerintah.
"Jadi, kelihatannya ini ada skandal-skandal ketika kampus itu menjadi pembenar kekuasaan pemerintah. Skandal ketika kampus rakyat itu mengolok-olok dirinya sendiri, karena tidak mampu berdiri di atas integritas akademis," jelas Rocky.
"Para mahasiswa mampu untuk menjadi wakil dari nurani publik yang enggak malu mengatakan bahwa 'kampus kami itu kampus penjilat,'" tandasnya.
Alasan BEM UGM Layangkan Mosi Tidak Percaya kepada Rektor
BEM KM UGM menyatakan mosi tidak percaya kepada rektornya sendiri, Ova Emilia.
Sikap tersebut diambil karena para mahasiswa malu melihat "Kampus Kerakyatan" hanyalah slogan.
Ketua BEM KM UGM Tiyo Ardiyanto mengatakan, para mahasiswa hanya ingin mengembalikan marwah UGM sebagai Kampus Kerakyatan.
Kampus Kerakyatan harus berpihak semata-mata demi kepentingan rakyat dan bukan kepentingan penguasa.
"Mosi tidak percaya ke rektor ini kami layangkan karena kekecewaan kami yang mendalam, betapa Kampus Kerakyatan ternyata hanya slogan. Mengingat 27 Mei merupakan hari ketika Rektor dilantik sejak 2022, mosi tidak percaya ini sekaligus hadiah peringatan 3 tahun Rektor menjabat," ujar Tiyo saat dikonfirmasi, Sabtu (24/5/2025) malam, diwartakan Kompas.com.
Tiyo mengatakan, UGM telah berperan membesarkan kekuasaan Mantan Presiden RI Joko Widodo.
Joko Widodo dinilai telah membentuk rezim pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
"UGM mestinya turut bertanggung jawab dengan menegaskan keberpihakannya," tambah Tiyo.
Tiyo menambahkan, UGM tidak tegas dalam menyikapi dinamika politik nasional saat ini.
BEM KM UGM menuntut kampus menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah.
"Kami tidak akan mencabut mosi ini sampai Rektor menyatakan Mosi Tidak Percaya sebagai bukti keberpihakannya kepada Rakyat atau sesuatu yang setara dengannya," tambah Tiyo.
Tiyo mengatakan, Rektor UGM perlu mengevaluasi total kepemimpinannya apakah sejalan dengan nilai-nilai Universitas Gadjah Mada, terutama pada bagaimana UGM memosisikan diri di tengah realitas politik yang begitu problematik.
"Keberpihakan UGM kepada Rakyat itu harga yang tidak bisa ditawar dan tidak bisa dikaburkan dengan dalih bahwa UGM sering menggelar diskusi kritis tentang pemerintah sebagaimana yang diucapkan pada forum terbuka," kata Tiyo.
(Tribunnews.com/Rizki A.) (Kompas.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.