Senin, 29 September 2025

RUU KUHAP

RUU KUHAP dan RUU Polri Dinilai Berisiko Menyimpang dari Prinsip Demokrasi dan Hak Asasi

Ketua Padepokan Hukum Indonesia, Musyanto, menegaskan bahwa reformasi hukum pidana tidak boleh terjebak pada perubahan normatif semata.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Erik S
Istimewa
DISKUSI PUBLIK - Padepokan Hukum Indonesia menggelar diskusi publik bertajuk “RUU KUHAP dan RUU POLRI, Menguji Arah Hukum Pidana Dalam Demokrasi Konstitusional di Jakarta belum lama ini. Kegiatan ini menghadirkan tokoh-tokoh penting lintas sektor, mulai dari akademisi, praktisi hukum, perwakilan institusi kepolisian, hingga aktivis hak asasi manusia 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah tokoh hukum dan masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran atas arah reformasi hukum pidana Indonesia saat diskusi publik bertajuk RUU KUHAP dan RUU Polri: Menguji Arah Hukum Pidana Dalam Demokrasi Konstitusional yang digelar Padepokan Hukum Indonesia di Jakarta belum lama ini.

Diskusi yang menghadirkan kalangan akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, dan aktivis hak asasi manusia ini menyoroti dua rancangan undang-undang strategis namun kontroversial yakni RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Ketua Padepokan Hukum Indonesia, Musyanto, menegaskan bahwa reformasi hukum pidana tidak boleh terjebak pada perubahan normatif semata.

Baca juga: Pembatasan Interaksi Jaksa dan Penyidik dalam RUU KUHAP Dikritik Akademisi

Menurutnya, nilai demokrasi dan hak asasi manusia harus menjadi pijakan utama.

“Demokratisasi hukum pidana bukan semata soal perubahan teks. Ini soal bagaimana hukum berpihak pada rakyat, memberi perlindungan, dan menjamin keadilan,” ujar Musyanto.

Ia juga mengkritisi pelemahan mekanisme praperadilan dan penghapusan konsep hakim komisaris dalam RUU KUHAP, yang justru bisa membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang aparat penyidik.

“Hakim komisaris adalah instrumen penting untuk memastikan due process of law. Tanpanya, potensi abuse of power dalam penyidikan akan sangat tinggi,” tegasnya.

Risiko Tumpang Tindih dan Lemahnya Kontrol Eksternal

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyuarakan kekhawatiran atas potensi tumpang tindih kewenangan antara Polri, Kejaksaan, dan KPK dalam skema hukum acara yang baru.

“Kalau pengawasan internal tidak diperkuat dan tidak ada mekanisme kontrol dari luar, ruang penyalahgunaan kekuasaan akan semakin lebar,” kata Julius.

Menurutnya, tanpa kejelasan struktur kewenangan dan pengawasan, revisi aturan justru berisiko memicu konflik antar lembaga penegak hukum serta melemahkan akuntabilitas.

Di sisi lain, perwakilan Mabes Polri, Brigjen Pol Ratno Kuncoro, yang juga merupakan anggota tim perumus RUU Polri, membela usulan revisi sebagai bentuk adaptasi terhadap tantangan zaman.

“Kami berupaya menyusun aturan yang responsif terhadap dinamika kejahatan modern, tanpa mengesampingkan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa kepolisian perlu dilengkapi perangkat hukum yang memadai untuk menghadapi ancaman seperti terorisme siber, kejahatan lintas negara, hingga penyebaran hoaks berbasis teknologi.

Baca juga: Menyelamatkan Reformasi: Kritik Terhadap RUU Polri di Tengah Semangat Pembatasan

Namun demikian, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, memperingatkan bahwa penguatan kewenangan Polri harus diiringi sistem kontrol yang ketat.

“Kewenangan besar tanpa kontrol justru bisa mengarah pada praktik-praktik represif. Transparansi harus menjadi ruh utama dalam setiap perubahan,” tegas Sugeng.

Menurutnya, reformasi hukum pidana tidak boleh mengesampingkan prinsip negara hukum yang menjamin akuntabilitas setiap aparat penegak hukum.

Kritik tajam juga disampaikan pengamat kebangsaan dan pendiri Haidar Alwi Institute, Ir. Haidar Alwi, yang menilai proses legislasi RUU KUHAP dan RUU Polri berlangsung tergesa dan minim partisipasi publik yang bermakna.

“Partisipasi publik tidak boleh sekadar formalitas. Keterlibatan rakyat adalah syarat mutlak agar hukum tidak kehilangan legitimasi,” tegasnya.

Menurut Haidar, legislasi yang terburu-buru hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum.

Diskusi yang berlangsung hangat tersebut ditutup dengan konsensus penting: bahwa reformasi hukum pidana Indonesia harus berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar legal-formalitas.

Peran masyarakat sipil sebagai pengawas harus diperkuat, dan proses legislasi harus dilakukan secara inklusif, akuntabel, serta berpihak pada hak warga negara. (Tribunnews.com/Eko Sutriyanto) 

 

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan