Hadi Poernomo Ditunjuk Jadi Penasihat Prabowo, KPK: Tentu Telah Melalui Proses dan Seleksi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Presiden Bidang Penerimaan Negara.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Presiden Bidang Penerimaan Negara.
Hadi Poernomo diketahui pernah menyandang status tersangka di KPK.
Namun, status itu gugur setelah ia menang praperadilan.
Menurut Jubir KPK Budi Prasetyo, penunjukan Hadi Poernomo kemungkinan sudah melewati proses yang ketat.
Terlebih, lanjut Budi, penunjukan Budi sebagai penasihat Prabowo di bidang penerimaan negara telah sesuai kebutuhan.
Baca juga: KPK Eksekusi Eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo ke Lapas Sukamiskin
Budi diketahui pernah bekerja di Kementerian Keuangan hingga menjadi ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Tentunya penunjukan yang bersangkutan dalam jabatan tersebut telah melalui proses dan seleksi," kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (14/5/2025).
"Dan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan sesuai jabatannya sebagai penasihat khusus berkaitan dengan penerimaan negara," imbuhnya.
Baca juga: Kuasa Hukum Firli Bahuri Klaim Kliennya Tidak di Jakarta saat KPK Gelar OTT Hasto-Harun
Selain itu, kata Budi, sebagai penasihat presiden, maka Hadi wajib melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK.
"Jabatan penasihat khusus presiden merupakan salah satu pejabat yang wajib untuk melapor LHKPN sebagai salah satu instrumen pencegahan korupsi," kata dia.
KPK menegaskan jabatan penasihat bidang penerimaan negara ini merupakan posisi yang krusial dalam pencegahan korupsi.
"KPK juga telah melakukan beberapa kajian berkait dengan penerimaan negara seperti PNBP pada Minerba, PNBP dan pajak pada sawit. Karena KPK melihat adanya ruang-ruang atau potensi korupsi pada sektor penerimaan negara," ujar Budi.
Diketahui, KPK menetapkan Hadi sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan wewenang terkait dengan surat keberatan pajak sebuah bank.
Hadi menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) pajak penghasilan (PPh) satu bank swasta tahun pajak 1999–2003 yang diajukan 17 Juli 2003.
Hadi ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Pajak 2001–2006.
Saat itu, terdapat bank lain yang mengajukan permohonan yang sama namun ditolak oleh Hadi.
Oleh karena itu, di dijerat dengan pasal Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dalam perkara keberatan pajak satu bank swasta yang diduga merugikan negara hingga mencapai Rp 370 miliar.
KPK menetapkan Hadi sebagai tersangka pada 21 April 2014, bertepatan dengan hari terakhir bagi Hadi menjabat sebagai Ketua BPK.
Setelah menjadi Dirjen Pajak dia juga sempat menjadi Kepala Bidang Ekonomi Dewan Analisis Strategis Badan Intelijen Negara (BIN).
Hadi kemudian melakukan perlawanan dengan menggugat Laporan Hasil Audit Investigasi Inspektorat Bidang Investigasi Irjen Depkeu Nomor: LAP-33/IJ.9/2010 tentang Dugaan Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat/Pegawai DJP dalam Proses Pemeriksaan Dana Keberatan bank swasta, yang menjadi satu alat bukti yang digunakan KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun, PTUN menolak gugatan tersebut.
Lebih lanjut, atas penetapan tersebut, Hadi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), tanpa didampingi kuasa hukum.
Dalam putusannya, hakim tunggal PN Jaksel Haswandi mengabulkan permohonan Hadi dan menyatakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah karena penyelidik dan penyidik tidak berasal dari Kepolisian atau Kejaksaan.
Kemudian, KPK mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).
Permohonan PK tersebut memang ditolak, namun MA menyatakan bahwa PN Jaksel telah melampaui batas kewenangannya untuk menghentikan penyidikan yang dilakukan KPK.
Bahkan, putusan PN Jaksel yang membebaskan Hadi dari status tersangka dapat dikualifikasikan sebagai upaya mencegah, merintangi, menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Tidak berhenti di situ, Hadi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) namun ditolak.
PT TUN enggan mencabut Laporan Hasil Audit Investigasi Inspektorat Bidang Investigasi Irjen Depkeu Nomor: LAP-33/IJ.9/2010 tentang Dugaan Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat/Pegawai DJP dalam Proses Pemeriksaan Dana Keberatan bank swasta yang menjadi alat bukti KPK.
Namun, dia kembali menggugat permohonan tersebut pada tingkat kasasi.
Kemudian, MA mengabulkan gugatan Hadi dan mencabut Laporan Hasil Audit Investigasi yang dijadikan sebagai alat bukti oleh KPK untuk menetapkan Hadi sebagai tersangka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.