Rabu, 1 Oktober 2025

Revisi UU BUMN Bikin Direksi-Komisaris Tak Bisa Diusut soal Kasus Korupsi, KPK Dikebiri?

KPK dianggap dikebiri dalam penanganan kasus korupsi jika pelakunya adalah jajaran direksi maupun komisaris perusahaan BUMN usai ada revisi UU BUMN.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
KPK DIKEBIRI - Gedung Merah Putih KPK di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (31/1/2025). KPK dianggap dikebiri dalam penanganan kasus korupsi jika pelakunya adalah jajaran direksi maupun komisaris perusahaan BUMN usai ada revisi UU BUMN. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) disebut membuat jajaran direksi dan komisaris dari perusahaan pelat merah tersebut tidak bisa diusut ketika terjerat kasus korupsi.

Pasalnya, dalam aturan terbaru tersebut, disebutkan bahwa direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas bukanlah penyelenggara negara.

Adapun hal itu tertuang dalam Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 yang berbunyi:

"Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara."

Di sisi lain, adanya pasal tersebut membuat gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut jika terjadi kasus rasuah di perusahaan BUMN justru terhambat.

Hal tersebut lantaran KPK tidak bisa mengusut kasus korupsi jika pelaku bukan penyelenggara negara.

Aturan ini tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi: 

"Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Sebagai informasi, UU Nomor 1 Tahun 2025 tersebut merupakan revisi dari UU sebelumnya yaitu UU Nomor 19 Tahun 2003 dan disahkan sejak 24 Februari 2025 lalu.

UU BUMN Paradoks, Bertentangan dengan UUD 1945

Terkait hal ini, mantan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, menilai adanya paradoks terkait revisi UU BUMN tersebut.

Baca juga: Efisiensi Anggaran BUMN, Erick Thohir Berencana Pangkas Jumlah Komisaris dan Biaya Perjalanan Dinas

Menurutnya, undang-undang tersebut bertentangan dengan Pasal 23E UUD 1945.

Saut menganggap UU BUMN terbaru bertentangan pula dengan konsep good governance dan transparansi keuangan negara.

"Banyak paradoksnya ya undang-undang itu. Sejak awal saya komplain di mana bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 23 huruf E."

"Di situ kan tidak ada yang nggak bisa diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Kemudian, kalau di undang-undang itu ada berbicara tentang efisiensi atau good governance, itu paradoks semua isinya," katanya dikutip dari program Kompas Petang di YouTube Kompas TV, Selasa (6/5/2025).

Saut mengatakan perlu adanya judicial review terhadap UU BUMN tersebut.

Pasalnya, UU BUMN ini dianggap bertentangan dengan undang-undang lainnya termasuk dengan UU KPK.

"Ini (UU BUMN) bertentangan dengan undang-undang lainnya yang ada yaitu undang-undang keuangan negara, UU KPK, terus kemudian pasal 2 dan pasal 3 yang dihindari penyelenggara negara," katanya.

Di sisi lain, Saut mengatakan dampak atas disahkannya revisi UU BUMN tersebut yaitu turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia.

Hal tersebut lantaran indikator utama terkait penilaian IPK adalah soal ada atau tidaknya korupsi yang terjadi di sektor penyelenggara negara.

"Implikasinya dari adanya undang-undang ini, saya menduga Indeks Persepsi Korupsi kita akan turun dari (peringkat) 37 ke depan."

"Karena dunia internasional bicara Indonesia ini carut-marut dalam menangani (korupsi) penyelenggara negara," jelas Saut.

UU BUMN Sudah Jelas demi Hindari KPK 

Sementara, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menganggap revisi UU BUMN merupakan upaya agar bos dari perusahaan BUMN tersebut dapat terhindar dari penyelidikan oleh lembaga anti rasuah.

"Jadi memang pasal ini dibuat untuk seperti itu (direksi-komisaris tidak bisa diusut KPK)," katanya dikutip dari YouTube metrotvnews.

Dia juga mengatakan bahwa UU BUMN bertentangan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Ketua Wadah Pegawai KPK itu menuturkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 justru diatur bahwa direksi dan komisaris dari BUMD dapat diperiksa KPK.

"Artinya ini antitesis dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 di mana salah satu unsur dari penyelenggara negara adalah direksi dan komisaris BUMN bahkan BUMD."

"Ini kan lucu ketika (direksi dan komisaris) BUMN bukan penyelenggara negara, tapi direksi dan komisaris di BUMD adalah penyelenggara negara," katanya.

Di sisi lain, Yudi menuturkan bahwa masih ada celah agar KPK bisa menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris yaitu dengan membenturkan UU BUMN dengan UU Nomor 28 Tahun 1999.

Dia mengungkapkan hal tersebut bisa dilakukan ketika memang KPK berniat serius untuk memberantas korupsi di sektor BUMN.

KPK Bakal Kaji

Terkait UU BUMN ini, KPK menyebut akan melakukan kajian mendalam terlebih dahulu, khsusunya soal substansi pasal yang terkait direksi dan komisaris tidak masuk sebagai penyelenggara negara.

“Perlu ada kajian, baik itu dari Biro Hukum maupun dari Kedeputian Penindakan, untuk melihat sampai sejauh mana aturan ini akan berdampak terhadap penegakan hukum yang bisa dilakukan di KPK,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, Minggu (4/5/2025).

Tessa menjelaskan kajian diperlukan mengingat komitmen Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan untuk meminimalkan dan menghilangkan kebocoran anggaran.

Selain itu, kata dia, kajian dibutuhkan agar KPK dapat memberikan masukan kepada pemerintah terkait perbaikan maupun peningkatan suatu peraturan perundang-undangan, terutama yang menyangkut dengan pemberantasan korupsi.

KPK, lanjut Tessa, merupakan pelaksana undang-undang. Sehingga, penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi tidak boleh keluar dari aturan yang ada, termasuk mengenai direksi maupun komisaris BUMN dalam UU BUMN.

“Kalau memang saat ini bukan merupakan penyelenggara negara yang bisa ditangani oleh KPK, ya tentu KPK tidak bisa menangani,” kata Tessa.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved