4 Pihak Serang Kebijakan Dedi Mulyadi, Tak Sependapat Siswa Nakal Masuk Barak TNI
Wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi bekerja sama dengan TNI dalam pembinaan siswa bermasalah atau nakal mendapat sorotan dari berbagai pihak
TRIBUNNEWS.COM - Wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi bekerja sama dengan TNI dalam pembinaan siswa bermasalah atau nakal mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Penelusuran Tribunnews, sedikitnya terdapat empat kritik atas rencana pria yang akrab disapa Kang Demul ini.
Pertama kritikan datang dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Kedua, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra juga menyebut rencana Dedi tak tepat.
Sorotan ketiga muncul dari Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana.
Keempat yakni dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.
Berikut uraiannya:
1. Amnesty International Indonesia
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, memandang pelibatan personel TNI untuk melakukan pembinaan siswa bermasalah dengan cara militer adalah cara yang tidak tepat.
Displin militer, menurutnya tidak cocok untuk pertumbuhan anak karena metode militer sering kali melibatkan disiplin keras dan hukuman fisik yang tidak sesuai untuk anak-anak yang masih dalam proses perkembangan dan pertumbuhan.
Usman Hamid memandang, anak-anak justru membutuhkan pendekatan yang mendukung perkembangan emosi, sosial, dan kognitif mereka.
Baca juga: Respons Rencana Dedi Mulyadi Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer, Menhan: Kalau Mau Nitip Boleh Saja
"Pendekatan itu membawa potensi terjadinya pelanggaran hak-hak asasi anak. Pembinaan dengan cara militer dapat berpotensi melanggar hak-hak anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan fisik dan psikologis, serta hak untuk berkembang dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan mendukung," kata Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (30/4/2025).
Menurutnya, pendekatan yang dibutuhkan untuk menangani siswa bermasalah adalah pendekatan yang lebih holistik.
Pendekatan tersebut menurutnya termasuk dukungan psikologis, pendidikan khusus, dan bantuan sosial.
"Metode militer tidak dirancang untuk menangani kebutuhan kompleks anak-anak tersebut, apalagi hak anak yang utama adalah bermain. Ada risiko trauma dan dampak jangka panjang," kata dia.
"Pengalaman kekerasan atau disiplin keras dapat menyebabkan trauma dan memiliki dampak jangka panjang pada kesehatan mental dan emosi anak. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menekankan perlindungan dan kesejahteraan anak," sambung Usman.
Kata Usman, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi perlu lebih kreatif dalam berpikir dan menyelesaikan masalah.
Menurutnya ada banyak alternatif yang lebih mendukung.
Pendekatan yang lebih mendukung dan berbasis pada hak asasi manusia, kata dia, misalnya adalah melibatkan kerja sama dengan profesional seperti psikolog, guru, dan pekerja sosial untuk membantu siswa bermasalah dengan cara yang konstruktif dan mendukung perkembangan mereka.
"Ada banyak tokoh pemuda di Indonesia termasuk di Jawa Barat yang memiliki kreatifitas tinggi untuk membantu anak-anak," kata Usman.
2. Imparsial
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra memandang rencana kebijakan yang sedang disusun Dedi Mulyadi tersebut tidak hanya bentuk nyata militerisasi di ranah sipil, melainkan juga bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Selain itu, Imparsial memandang pelibatan TNI untuk menjawab persoalan “siswa nakal” jelas menyalahi fungsi TNI itu sendiri.
"Sebagai pemimpin sipil sudah sepatutnya Dedi menyadari adanya garis demarkasi antara urusan sipil dan urusan militer," kata Ardi saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (30/4/2025).
"Rencana kebijakan ini menunjukan sikap inferioritas sipil terhadap militer yang dalam tahap tertentu berbahaya bagi kehidupan sipil dan demokrasi," lanjutnya.
Selain itu, Imparsial juga memandang pelibatan TNI dalam pembinaan “siswa nakal” juga tidak tepat di tengah kritik tajam terhadap institusi TNI akibat perilaku kekerasan anggota TNI di ranah sipil.
Menurut Imparsial, mereka yang dianggap siswa "nakal" tersebut juga masih tergolong dalam usia anak yang dalam prinsip hak asasi manusia harus diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hak anak yang jauh dari budaya kekerasan.
3. Bonnie Triyana
Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip pendidikan yang menjunjung tinggi pendekatan psikologis dan perlindungan anak.
Menurut Bonnie, siswa bermasalah seharusnya ditangani oleh tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater, bukan oleh institusi militer.
"Melibatkan psikolog dan psikiater untuk menangani siswa bermasalah jauh lebih tepat ketimbang mengirim mereka ke barak militer," ujarnya di Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Bonnie juga mendesak pemerintah daerah untuk memastikan keberadaan guru konseling yang kompeten di setiap sekolah.
Ia menilai bahwa guru BK harus dibekali kemampuan dalam mengidentifikasi dan menangani siswa dengan perilaku menyimpang.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti pentingnya sarana ekstrakurikuler seperti olahraga dan seni sebagai media penyaluran energi dan kreativitas siswa.
"Penyediaan fasilitas olahraga dan kesenian juga seharusnya bisa dilakukan pemerintah agar siswa-siswa bermasalah bisa menyalurkan energi dan kreativitasnya," tambahnya.
4. Sufmi Dasco Ahmad
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad turut merespons soal rencana program Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang akan membawa siswa bermasalah di Jawa Barat dibina di barak TNI.
Sejatinya, kata Dasco, dia belum membaca secara pasti dan lengkap apa aturan yang akan diterapkan Dedi Mulyadi dalam programnya itu.
"Saya belum secara lengkap membaca statement dari Gubernur Jawa Barat," kata Dasco saat ditemui awak media di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/4/2025).
Meski begitu, Dasco meminta agar kebijakan itu dikaji lebih mendalam terdahulu sebelum diterapkan nantinya.
Diketahui, Dedi Mulyadi akan mulai menerapkan kebijakan membawa siswa bermasalah ke barak TNI mulai tanggal 2 Mei 2025 lusa.
Adapun kebijakan itu akan dilakukan secara bertahap yang dimulai dari wilayah Kota Bandung, dan Kabupaten Purwakarta.
"Tetapi mungkin hal-hal yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat mungkin ada hal-hal baru, yang mungkin perlu dikaji lebih dulu secara matang sebelum dilaksanakan, seperti itu," ucap Dasco.
Tak cukup di situ, sejauh ini juga kata Dasco, dirinya belum mendapatkan respons lebih jauh dari anggota DPRD Jawa Barat atas rencana program itu.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu hanya meminta agar kebijakan itu sejatinya dipelajari lebih dalam, agar bisa sesuai dengan karakteristik warga di Jawa Barat.
"Ya kalau pemberlakuan itu kan hanya di daerah Jawa Barat ya, saya juga belum tau bagaimana respon dari DPRD Jabar, tetapi kalau pendapat saya mungkin kita harus kaji terlebih dahulu secara matang sebelum kemudian diterapkan. Karena ya mungkin untuk masing-masing daerah kan karakteristiknya berbeda-beda," tukas dia.
Kerja Sama
Diberitakan sebelumnya, Markas Besar TNI Angkatan Darat mengatakan akan ada kerja sama antara Kodam III Siliwangi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) terkait penanganan siswa bermasalah.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana mengatakan rencana tersebut akan dibicarakan secara lebih rinci dengan Pemprov Jabar.
Hal tersebut, kata dia, sesuai hasil komunikasi dengan Staf Teritorial Angkatan Darat dan Staf Teritorial Kodam III/Siliwangi.
"Bahwa akan dilaksanakan kerjasama antara Kodam III/Siliwangi dan Pemprov Jabar terkait penanganan siswa yang bermasalah. Untuk rencana waktu pelaksanaan akan dibicarakan secara lebih rinci dengan Pemprov Jabar," kata Wahyu saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (29/4/2025).
Soal tempat pelaksanaannya, Wahyu mengatakan sementara ini sudah ada beberapa wilayah yang direncanakan sesuai pertimbangan dari Pemprov Jabar.
Akan tetapi, Wahyu mengakui rencana tersebut belum mencakup semua wilayah di Jabar.
Sedangkan untuk mekanisme penentuan siswa yang akan dikirim, kata dia, tentunya sesuai yang disampaikan oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi.
Apa yang disampaikan Dedi yakni para siswa dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua, dengan prioritas pada siswa yang terlibat tawuran, terlibat geng motor dan siswa yang orang tuanya sudah tidak mampu lagi untuk mendidik secara etika dan perilaku.
"Jadi sekali lagi, untuk penentuan ini berdasarkan rencana dari Pemprov Jabar yang melibatkan orang tua atau tetap berdasarkan kesepakatan dengan orangtua masing-masing siswa," ungkap dia.
Sedangkan untuk programnya sendiri, kata Wahyu, secara umum juga seperti yang sudah disampaikan Dedi Mulyadi.
Program itu yaitu pembinaan karakter bagi siswa-siswa yang memiliki sikap perilaku negatif meliputi pendidikan etika, pengetahuan, pertanian, dan kedisiplinan.
Sedangkan waktu pembinaannya, kata dia, akan ditentukan setelah dilaksanakan koordinasi teknis dengan Pemprov Jabar.
"Sebelum pelaksanaan pembukaan program tersebut tentu akan ada pemberitahuan dan semua akan dilaksanakan setelah segala sesuatu sudah terkomunikasikan secara tehnis antara Kodam III/Siliwangi dan Pemprov Jabar," paparnya.
Alasan Dedi Mulyadi
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membeberkan alasan di balik rencana tersebut.
Menurutnya, alasan mendasar rencana tersebut berangkat dari sudah mulai lemahnya pengawasan terhadap siswa di Jawa Barat.
Saat ini, menurutnya banyak pelajar merasa berkuasa namun lemah dalam segi ketahanan fisik.
Hal itu disampaikannya saat ditemui awak media di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
"Coba tanya deh ke jajaran TNI-Polri, apa yang terjadi pada anak muda hari ini. Satu, tangannya rapuh, jadi ada orang yang ingin panco saja patah. Karena makanannya junk food. Kedua, kakinya kalau loncat latihan, loncat dari mobil patah dan keseleo, karena tidak pernah jalan kaki," ungkapnya.
Sementara itu di sisi lain, menurut Dedi, dalam kondisi ini banyak orang tua hingga para guru yang merasa kewalahan dalam menghadapi para siswa.
Para guru, kata Dedi, cenderung lebih takut apabila memberikan ketegasan kepada para murid yang bersalah.
"Maka saya mengubah paradigma itu dengan cara apa, banyak orang tua yang hari ini tidak punya kesanggupan lagi menghadapi lagi anaknya. Banyak guru yang tidak punya kesanggupan untuk menghadapi murid-muridnya. Kenapa, dia keras dikit nanti dikriminalisasi," lanjutnya.
Atas hal itu, Dedi berpandangan perlu dilakukan tindakan-tindakan yang nyata, terukur dan terencana terhadap perkembangan siswa.
Salah satu upayanya, kata dia, dengan memberikan pendidikan bersama dengan TNI dan juga Polri.
"Maka salah satu pilihannya adalah melibatkan TNI Polri menjadi bagian dari upaya pembinaan mereka. Siapa yang dibina, mereka yang mengalami kenakalan akut yang sudah mengarah kriminal," ujar dia.
Hanya saja, menurut dia, pemberian pendidikan itu tidak dipaksakan.
Nantinya, sambung Dedi, para orang tua siswa yang merasa memiliki anak dengan kenakalan akut, bisa menyerahkan putranya ke posko TNI yang akan dibentuk.
Selain itu, ia juga mengatakan di dalam barak tersebut para siswa juga tidak akan diberikan pendidikan militer, melainkan untuk memberikan pemahaman kedisiplinan agar lebih patuh terhadap norma-norma.
"Jadi masuk barak militer bukan latihan perang-perangan, bukan. (Tapi) membantu membangun kesehatan pikiran, kesehatan mental, dan kesehatsn raga mereka agar mereka menjadi anak-anak yang bugar, tidak minum, tidak merokok, tidak makan eksimer, tidak minum ciu, yang itu obat-obatan itu marak di mana-mana," tandasnya.
(Tribunnews.com/Chrysnha, Gita Irawan, Rizki Sandi Saputra)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.