Kamis, 2 Oktober 2025

Kasus Korupsi Minyak Mentah

Lembaga Kajian Hukum Pertanyakan Vendor BBM Bisa Dipidana

Ia menjelaskan, mengacu pada Pasal 183 KUHAP, maka seseorang hanya dapat dipidana jika kesalahannya terbukti secara sah dan meyakinkan.

Via Kompas.TV
Ilustrasi Gedung Kejaksaan Agung di Jakarta. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penetapan tersangka terhadap salah satu vendor dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023, dipertanyakan.

Direktur Eksekutif Institut Kajian Hukum Progresif (IKHP), Tegar Putuhena, berpendapat bahwa penetapan tersebut bisa tidak tepat, mengingat peran vendor yang dianggap hanya sebagai pelaksana teknis yang bertindak berdasarkan kontrak resmi dengan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).

Dan pelaksana teknis biasanya tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan strategis.

“Jika pelaksana teknis dijadikan tersangka tanpa bukti bahwa ia menyimpang dari kontrak atau bertindak di luar kewenangan, maka itu bertentangan dengan prinsip hukum pidana,” ujar Tegar kepada wartawan, Rabu (16/4/2025).

Ia menjelaskan, mengacu pada Pasal 183 KUHAP, maka seseorang hanya dapat dipidana jika kesalahannya terbukti secara sah dan meyakinkan.

“Kalau vendor hanya menjalankan tugas legal, bagaimana bisa dibuktikan ada unsur kesengajaan atau niat jahat [mens rea]?” katanya.

Baca juga: KPK Ungkap Motor Royal Enfield Ridwan Kamil Diduga Dibeli dari Hasil Korupsi 

Menurut Tegar, pelaksana teknis yang hanya menjalankan pekerjaan berdasarkan perintah resmi dari pemegang otoritas tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, kecuali dapat dibuktikan bahwa mereka turut merancang atau menginisiasi perbuatan melawan hukum. 

“Dalam struktur hukum pidana, pelaksana yang tunduk pada perintah sah tidak dapat dijadikan pelaku kejahatan,” katanya.

Hingga saat ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan semiblan tersangka dalam perkara ini. 

Mereka antara lain berinisial MR, AW, dan IY dari pihak swasta, serta legal officer dan sejumlah pelaksana operasional vendor yang disebut terlibat dalam aktivitas distribusi dan blending BBM. 

Namun, sebagian tersangka disebut hanya berperan sebagai pelaksana teknis tanpa kewenangan kebijakan.

Tegar juga menekankan asas nullum delictum, nulla poena sine culpa—tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa kesalahan.

“Pidana itu ultimum remedium. Kalau perkaranya administratif atau perdata, jangan dipaksakan jadi pidana," ujarnya.

Blending BBM sendiri merupakan proses legal dan lazim dalam industri migas, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Permen ESDM Nomor 18 Tahun 2013. 

Proses ini bertujuan untuk meningkatkan mutu BBM agar sesuai standar nasional (SNI), dan bukan termasuk perbuatan melawan hukum.

Baca juga: Suap Hakim Korupsi Minyak Goreng, ICW: Kolusi Mafia Peradilan dan Oligarki Sawit

Ia mengingatkan bahwa penegakan hukum menyasar pihak yang bukan pengambil kebijakan, maka bukan hanya keadilan yang terganggu, tetapi juga kepastian hukum dan iklim usaha di sektor energi.

“Kepastian hukum yang terganggu juga akan berdampak pada kepastian investasi. Padahal, pemerintahan Prabowo sangat fokus pada sektor ekonomi dan investasi, serta sedang giat mencari investor untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai ketidakpastian hukum justru menghambat pembangunan ekonomi dan investasi,” ujarnya.
 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved