Minggu, 5 Oktober 2025

Bersama 33 Tokoh Masyarakat, PBHI Ajukan Amicus Curiae dalam Perkara Peninjauan Kembali Alex Denni

Amicus curiae adalah pihak ketiga yang memberikan pendapat hukum kepada pengadilan, meskipun bukan pihak yang terlibat dalam perkara. 

Penulis: Chaerul Umam
Tribunnews/istimewa
AMICUS CURIAE - Ketua PBHI Julius Ibrani. PBHI bersama 33 tokoh masyarakat Indonesia mengajukan Amicus Curiae, dalam upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) perkara dengan nomor 1091 PK/Pid.Sus/2025 yang diajukan oleh Alex Denni, mantan Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) bersama 33 tokoh masyarakat Indonesia mengajukan Amicus Curiae, dalam upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) perkara dengan nomor 1091 PK/Pid.Sus/2025 yang diajukan oleh Alex Denni, mantan Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). 

Dukungan ini disampaikan dalam bentuk keterangan tertulis yang diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA) pada Senin lalu (24/3/2025).

Amicus curiae adalah pihak ketiga yang memberikan pendapat hukum kepada pengadilan, meskipun bukan pihak yang terlibat dalam perkara. 

Amicus curiae ini mendapat dukungan dari sejumlah tokoh penting, baik dari pejabat negara, tokoh politik, akademisi, maupun praktisi. 

Beberapa di antaranya adalah Ketua Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana, Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim, Ketua Dewan Pakar Partai Gerindra Burhanudin Abdullah, mantan Komisioner KPK Erry Riana Hardjapamekas, serta anggota DPR RI Harris. 

Dari kalangan akademisi, turut memberikan dukungan Rektor Universitas Pancasila Marsudi Wahyu Kisworo, Guru Besar IPB Illah Sailah, Guru Besar Universitas Sriwijaya Diah Natalisa, dan lain-lain. Tokoh-tokoh praktisi seperti mantan Direktur Utama PT Telkom Rinaldi Firmansyah juga ikut bergabung.

Ketua PBHI Julius Ibrani, menjelaskan bahwa Amicus Curiae tersebut memberikan dukungan bagi Alex Denni terkait pemeriksaan upaya hukum PK terhadap putusan MA Nomor 163/K/Pod.Sus/2013.

Dikatakan bahwa terdapat banyak kejanggalan baik secara prosedural maupun substantif dalam kasus ini.

Menurut Julius, kejanggalan prosedural terlihat dari ketidakjelasan dalam proses putusan dan relaas yang tidak pernah disampaikan kepada pihak terkait, serta adanya keterlibatan hakim militer dalam komposisi majelis hakim. 

Secara substantif, ketidakberesan terlihat dalam penerapan pasal 55 KUHP yang hanya diterapkan kepada satu orang, yang bukan penyelenggara negara.

"Ini menciptakan disparitas hukum yang bertentangan dengan kebijakan MA yang melarangnya," kata Julius, dalam keterangannya Rabu (26/3/2025).

Dia menegaskan bahwa Amicus Curiae ini didasarkan pada keyakinan bahwa telah terjadi kesalahan yang jelas dalam proses pengadilan pada tingkat kasasi, banding, maupun pada tingkat pertama, yang menyebabkan terjadinya miscarriage of justice. 

Selain itu, terdapat inkonsistensi dalam pertimbangan majelis hakim, terutama bila dibandingkan dengan kasus serupa yang berujung pada pembebasan terdakwa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.

PBHI bersama 33 tokoh tersebut berharap Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan Amicus Curiae ini dalam memeriksa dan memutuskan perkara, serta memberikan pandangan tentang konstruksi perkara yang melanggar prinsip objektivitas dan keadilan yang seharusnya ada dalam setiap proses peradilan.

“Harapan kami adalah agar Ketua Mahkamah Agung, Ketua Kamar Pidana, serta Majelis Hakim yang menangani perkara ini mempertimbangkan dan menerima Amicus Curiae yang kami ajukan dalam proses pemeriksaan dan putusan perkara ini,” pungkas Julius.

Kasus Alex Denni

Kasus ini bermula dari Alex Denni sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Parardhya Mitra Karti dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara 1 tahun dalam perkara korupsi proyek pengadaan proyek Distinct Job Manual (DJM) di PT Telkom.

Hal itu sebagaimana putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung bernomor 1460/PID/B/2006/PN.BDG, diperkuat Pengadilan Tinggi (PT) dengan nomor putusan 166/PID/2008/PT.BDG dan 163.K/Pid.Sus/2013 di tahap kasasi. 

Meski putusan kasasi sudah dikeluarkan pada 2013, namun eksekusi baru dilakukan pada 2024, hingga memicu sorotan PBHI.

Menurut PBHI, dalam proses hukum tersebut ditemukan adanya nama hakim yang sudah meninggal dunia pada 7 September 2013, namun tercatat menandatangani putusan yang baru diumumkan pada 14 November 2013. 

"Bagaimana bisa putusan yang diumumkan pada Juni 2013 baru ditandatangani enam bulan setelahnya? Ini jelas tidak sah," kata Ketua PBHI, Julius Ibrani.

Tak hanya itu, PBHI juga menemukan fakta bahwa Alex Denni tidak menerima salinan putusan kasasi dan pemberitahuan resmi mengenai putusan tersebut sejak 2013. 

Tercatat bahwa hanya putusan kasasi Alex Denni yang dipublikasikan, sementara dua putusan di tingkat pertama dan banding tidak ada dalam publikasi resmi.

Lebih lanjut, Julius mengungkapkan bahwa salah satu hakim dalam perkara ini, Imron Anwari, berasal dari Peradilan Militer. 

“PBHI menelusuri pemeriksaan perkara Kasasi di tahun 2010, 2011, dan 2012, faktanya tidak ada satu pun perkara di Peradilan Umum yang diperiksa oleh Hakim Peradilan Militer, kecuali Perkara Alex Denni,” imbuh Julius. 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved