Kasus Korupsi Minyak Mentah
Selain Minta Maaf, Dirut Pertamina juga Bagikan Kontak Pribadi Khusus untuk Aduan Masyarakat
Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, membagikan nomor pribadi, khusus untuk laporan berbagai masalah terkait BBM.
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Simon Aloysius Mantiri, membagikan nomor pribadi, khusus untuk laporan berbagai masalah terkait bahan bakar minyak (BBM).
Nomor khusus yang diberikan oleh Simon adalah 0814-1708-1945.
Simon menjelaskan bahwa nomor tersebut untuk saat ini baru bisa menerima SMS.
Akan tetapi, ia akan segera mendaftarkan nomor tersebut agar bisa menggunakan aplikasi WhatsApp.
"Saya juga memberikan nomor khusus saya yaitu nomor 0814-1708-1945. Saat ini bisa untuk menerima SMS, nanti akan segera didaftarkan untuk menggunakan aplikasi Whatsapp," ujar Simon dalam konferensi pers di Grha Pertamina, Jakarta, Senin (3/3/2025).
Selain itu, masyarakat juga tetap dapat menghubungi Call Center Pertamina di 135 untuk melaporkan keluhan atau permasalahan terkait BBM.
Hal ini dilakukan Pertamina merespons isu yang berkembang terkait dugaan oplosan BBM jenis Pertamax dan Pertalite.
Meski, pihak Pertamina telah membantah praktik curang itu, Simon tetap berinisiatif membuka aduan masyarakat untuk memastikan transparansi dan kepercayaan publik terhadap Pertamina.
Dalam kesempatan yang sama, Simon juga menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat atas dugaan korupsi tata kelola minyak di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Bagi Simon, kasus ini merupakan pukulan bagi tubuh Pertamina.
"Saya sebagai Dirut Pertamina menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia atas peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir ini."
Baca juga: Masyarakat Resah Buntut Skandal Korupsi BBM, Fraksi PDI Perjuangan DPR Sidak SPBU Pertamina
"Tentunya ini adalah peristiwa yang memukul kita semua, menyedihkan juga bagi kami dan tentunya kami ini adalah salah satu ujian besar," ungkap Simon.
Simon mengatakan, pihaknya sangat mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengusut kasus mega korupsi yang melibatkan anak perusahaanya ini.
"Kami sangat mengapresiasi penindakan hukum atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak perusahaan PT Pertamina Persero menyangkut tata kelola minyak, impor mentah dan produk kilang 2018-2023," kata Simon.
Simon memastikan, Pertamina akan terus membantu menyelesaikan kasus apabila dibutuhkan data-data dan keterangan.
"Supaya proses ini dapat diproses dan berjalan sesuai ketentuan," jelas Simon.
Pada kesempatan ini juga, pihaknya berkomitmen atas penyelenggaraan kegiatan perusahaan dalam prinsip good corporate governance.
"Saya juga meyakini kejadian kemarin membuat resah masyarakat. Namun komitmen kami di sini kami bekerja keras menghadirkan produk dan kualitas dari BBM Pertamina yang tentunya sudah sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh Ditjen Migas," tegas Simon.
9 Tersangka
Kejaksaan Agung mengungkap bahwa kerugian negara akibat praktik ini mencapai Rp 193,7 triliun hanya dalam satu tahun, yakni 2023.
Namun, angka ini diperkirakan masih jauh lebih besar mengingat skandal ini terjadi sejak 2018 hingga 2023.
Kejagung sudah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus mega korupsi ini.
Adapun perannya adalah Riva bersama Direktur Feedstock and Product Optimization PT Pertamina International, Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina International, Agus Purwono, memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.
Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka Agus untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
Adapun DW atau Dimas Werhaspati adalah Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
Sementara, GRJ atau Gading Ramadhan Joedoe selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (RON 92).
Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (RON 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi RON 92.
Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan.
Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi."
"Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN."
"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, Senin (24/2/2025).
Sementara itu, peran dua tersangka baru yakni Maya dan Edward, dijelaskan oleh Qohar, mereka melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah dengan harga RON 92 dengan persetujuan Direktur Utama atau Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.
"Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending (mencampur) produk kilang pada jenis RON 88 (Premium) dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92," jelas Qohar, Rabu (26/2/2025).
Pembelian tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai kualitas barang.
"Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga," jelasnya.
Selain itu, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung berdasarkan harga saat itu.
Perbuatan tersebut membuat PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha.
Padahal, pembayaran seharusnya dilakukan menggunakan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka supaya diperoleh harga yang wajar.
Tak hanya itu saja, Qohar juga menjelaskan, Maya dan Edward mengetahui dan memberikan persetujuan terhadap mark up dalam kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Keterlibatan Maya dan Edward dalam mark up itu menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum.
"Fee tersebut diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW/tersangka) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa," jelas Qohar.
(Tribunnews.com/Milani/Rifqah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.