Selasa, 7 Oktober 2025

Pengamat Yakin Ormas Gerakan Rakyat akan Jadi Parpol untuk Kendaraan Politik Anies di Pilpres 2029

Ormas Gerakan Rakyat berawal dari relawan Anies Baswedan dan diyakini bakal berubah menjadi parpol lalu menjadi kendaraan politik di Pilpres 2029.

Penulis: Rifqah
Editor: Nuryanti
Tangkapan layar dari YouTube Jakarta Menyala
ORMAS GERAKAN RAKYAT - Eks Gubernur Jakarta, Anies Baswedan bersama dengan anggota organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Rakyat saat mengesahkan struktur kepengurusan ormas Gerakan Rakyat di Jakarta, Kamis (27/2/2025). Ormas Gerakan Rakyat berawal dari relawan Anies Baswedan dan diyakini bakal berubah menjadi parpol lalu menjadi kendaraan politik di Pilpres 2029. 

Untuk saat ini, Sahrin menjelaskan, keterkaitan Anies dalam ormas itu karena sosoknya merupakan cerminan perubahan yang senada dengan visi Gerakan Rakyat.

"Gerakan rakyat adalah gerakan perjuangan, gerakan perubahan. Sehingga tentunya relevansinya harus ada Pak Anies di situ menjadi bagian dari yang tidak terpisahkan dengan gerakan rakyat dan semangatnya," kata dia.

Sahrin mengatakan bahwa Anies merupakan tokoh panutan.

"Pak Anies adalah tokoh panutan, tokoh inspirasi dan kita tahu bahwa semangat perubahan simbolnya adalah Pak Anies," kata Sahrin.

Penghapusan Presidential Threshold

Diberitakan sebelumnya, MK memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur partai politik (parpol) pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.

Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Menurut MK, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

Dengan demikian, MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan.

MK juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Seperti apa lengkapnya putusan MK soal presidential threshold?

  • Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
  • Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
  • Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik, sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
  • Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
  • Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

(Tribunnews.com/Rifqah/Rizki Sandi/Mario Christian) (Kompas.com)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved