Jumat, 3 Oktober 2025

Retret Kepala Daerah

Retret Kepala Daerah, Pengamat Politik Beberkan Dampaknya pada Otonomi dan Desentralisasi

Virdika mengingatkan pula jika retret semacam ini menjadi rutinitas, ada beberapa dampak yang bisa terjadi di antaranya melemahnya akuntabilitas.

Tribunjogja.com/Istimewa
RETRET DI MAGELANG - Acara retret di Akademi Militer (Akmil) di Magelang memasuki hari kedua pada Sabtu (22/2/2025). Pihak panitia membangunkan 450 kepala daerah pada Sabtu pagi. Suara terompet mengiringi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Agenda retret kepala daerah di Magelang yang digagas oleh Presiden RI Prabowo Subianto mendapat sorotan berbagai kalangan termasuk pengamat politik. 

Pengamat politik dan Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama mencermati kegiatan ini dan mengaitkannya dengan arah kebijakan desentralisasi di Indonesia. 

Baca juga: Rano Karno Pastikan Hadir di Retret Kepala Daerah Magelang

Dia menilai retret lebih dari sekadar ajang silaturahmi atau koordinasi teknis. 

Virdika khawatir acara ini merupakan bagian dari strategi politik membangun hierarki kekuasaan baru yang menempatkan kepala daerah yang seharusnya otonom, kini malah sebagai subordinat pemerintah pusat.

Baca juga: Pramono Masih di Magelang Tunggu Instruksi Megawati, Rano Karno Konfirmasi Hadir Retret 27 Februari

“retret ini mengisyaratkan nostalgia pada era Orde Baru, ketika kepala daerah hanya menjadi kepanjangan tangan Jakarta. Padahal, pemilihan langsung kepala daerah adalah capaian besar demokrasi pasca-Reformasi, yang menjamin kepala daerah bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada pusat,” ujar Virdika Rizky Utama dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (23/2/2025)

Virdika menyoroti kontradiksi dalam langkah Prabowo. Sebagai presiden yang terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung, Prabowo justru ingin menempatkan kepala daerah—yang juga dipilih langsung oleh rakyat—sebagai bawahan. 

Dalam rezim pemilihan langsung, lanjut dia, kepala daerah juga mendapat mandat rakyat yang setara dengan presiden meski hanya berbeda skala wilayah. 

“retret semacam ini tidak hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi desentralisasi yang menjadi roh semangat Reformasi 1998,” ujarnya.

Virdika juga mengaitkan retret dengan upaya membangun sentralisme birokratis.

“retret ini berisiko menjadi ritual legitimasi untuk normalisasi sentralisasi. Dengan mengumpulkan kepala daerah dalam forum tertutup, Presiden ingin menciptakan ilusi harmoni, padahal yang terjadi adalah pemaksaan kesepakatan,” kata Virdika.

Lebih rinci, dia menduga retret ini bukan semata untuk kepentingan pembangunan daerah, melainkan strategi politik jangka panjang Prabowo untuk Pemilu 2029. Setidaknya ada tiga kemungkinan agenda di balik retret ini.

“Pertama, memetakan mana kepala daerah yang bisa menjadi sekutu dan mana yang harus dinetralisasi. Kedua, membentuk mesin politik di tingkat daerah untuk mengamankan suara pada Pemilu 2029. Ketiga, meredam potensi oposisi daerah agar mereka tidak bersekutu dengan calon lain,” jelasnya.

Dalam skenario ini, kepala daerah bukan lagi sekadar pejabat publik, tetapi bisa berperan sebagai operator politik bagi kepentingan elite pusat. “Ini menciptakan konflik kepentingan yang merendahkan martabat otonomi daerah,” tambahnya.

Dampak terhadap Otonomi Daerah

Virdika mengingatkan pula jika retret semacam ini menjadi rutinitas, ada beberapa dampak yang bisa terjadi di antaranya melemahnya akuntabilitas kepala daerah, karena mereka lebih takut kepada pusat daripada kepada rakyat yang memilih mereka.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved