Revisi UU TNI
Pengamat Militer Sorot Revisi UU TNI: Tentara Dilatih Untuk Perang Bukan Jadi Dirjen
Pengamat militer sekaligus Koordinator Centra Initiative Al Araf mengkritisi Revisi UU TNI yang dinilainya memundurkan transformasi dan reformasi TNI.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat militer sekaligus Koordinator Centra Initiative Al Araf mengkritisi Revisi UU TNI yang dinilainya memundurkan transformasi dan reformasi TNI.
Selain itu, ia menilai revisi UU TNI tak punya urgensi untuk disahkan DPR.
"Secara urgensi revisi UU TNI tak ada urgensi. Justru malah memundurkan transformasi dan reformasi TNI," kata Al Araf dalam diskusi bertajuk Kala Polisi dan Militer Kembali ke Politik, Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Ia menilai revisi UU TNI itu mengakomodir anggota TNI menjabat di jabatan sipil yang lebih luas.
"Karena pasalnya memberikan jabatan sipil yang lebih luas. Bukan hanya 10 mungkin semua kementerian," ujarnya.
Baca juga: Revisi UU TNI Masuk Prolegnas Prioritas, Pemerintah Pastikan Tak Ada Wewenang Soal Penegakan Hukum
Lanjutnya itu merupakan persoalan serius.
Sebagaimana terjadi di masa Orde Baru terkait Dwi Fungsi ABRI.
"Ini soal serius yang kita sebut dengan dwi fungsi TNI yang dahulu hidup era Orde Baru dan ditolak," terangnya.
Baca juga: DPR Tunda Revisi UU TNI-Polri, Baleg: Pembatalan Resmi Harus Lewat Paripurna
Pengamat militer tersebut juga menegaskan revisi UU TNI juga akan melemahkan profesionalisme TNI.
"Bagaimana mereka masuk ke jabatan sipil. Saya tidak membayangkan jika ada konflik Laut China Selatan eskalasinya meningkat ternyata militer banyak duduk jadi dirjen, sekjen," kata Al Araf.
Militer itu diterangkan dia hakikatnya dilatih, didik, dipersiapkan untuk perang.
"Jadi jangan biarkan mereka berbisnis dalam organisasi atau berpolitik itu akan berbahaya. Selain dalam profesionalisme akan terganggu juga akan mengancam dalam dinamika berbisnis dan berpolitik," tandasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.