Kamis, 2 Oktober 2025

45 Persen Jurnalis Alami Kekerasan Sepanjang 2023, Dilakukan Ormas Hingga Aparat dan Pejabat Negara

Keselamatan jurnalis Indonesia masih belum sepenuhnya terjamin. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis itu terutama datang dari negara dan ormas

Editor: Dodi Esvandi
HANDOUT
Peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 yang digelar di Jakarta, Kamis (28/3/2024). 

Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya ini disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, dan pilar negara dan regulasi.

Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan.

Sedang pilar stakeholder media, menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas HAM.

Sedang Pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi.

Baca juga: Jurnalis Al Jazeera Dibebaskan seusai Diculik Israel 12 Jam, Ungkap Dipukuli hingga Disiksa IDF

Manajer Riset Populix, Nazmi Haddyat Tamara mengatakan, di antara ketiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08) diikuti pilar negara dan regulasi (64,36) dan pilar stakeholder media (74,36).

“Pilar individu mendapat skor rendah, didorong oleh kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” jelas Nazmi.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan.

Salah satunya adalah keengganan untuk melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.

“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” jelas Ade.

Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya untuk melakukan pelatihan keselamatan untuk jurnalis.

Karena itu, biasanya pelatihan keselamatan terhadap jurnalis dilakukan oleh pihak eksternal.

“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ungkap Citra.

Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk oleh penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi oleh jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja.

Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengungkapkan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan juga pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved