Kamis, 2 Oktober 2025

Beri Keterangan di MK, Haris Azhar Singgung Persidangan Kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur

Haris menegaskan, permohonan yang diajukan merupakan materi perundangan yang diyakini telah kehilangan konteks, terutama secara historis. 

Editor: Erik S
tangkapan layar
Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar, menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan uji materiil, di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/9/2023) 

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Haris Azhar, menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan uji materiil, di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (20/9/2023).

Hal ini terkait pengujian materiil Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan juncto UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946); Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); dan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Baca juga: MK Tunda Sidang Uji Materiil UU ITE yang Diajukan Haris Azhar dan Fatia

Haris Azhar selaku pemohon uji materiil pasal tersebut, memberikan keterangan terkait persidangan kasus yang melibatkannya, yakni dugaan pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang masih berproses hingga saat ini.

Hal itu bermula saat Kuasa Hukum Pemohon mengatakan, pemohon turut hadir dalam sidang dan meminta waktu untuk menyampaikan keterangan kepada majelis hakim konstitusi.

Merespons hal itu, Ketua MK Anwar Usman kemudian memberikan kesempatan untuk Haris Azhar memberikan keterangannya.

Dalam keterangannya, pemohon perkara nomor 78/PUU-XXI/2023 itu meminta Mahkamah agar dapat mempertimbangkan konteks waktu antara sidang uji materiil pasal yang digugatnya di MK dengan persidangan kasus yang melibatkannya, di PN Jakarta Timur.

"Di waktu yang singkat ini saya hanya ingin menyampaikan selain terkait dengan situasi hukum yang saya alami terkait dengan pasal yang saya ajukan, penting kiranya saya bermohon di sini kepada majelis yang mulia untuk bisa atau mampu memberikan konteks, tidak hanya pada pertimbangan tetapi juga dalam konteks waktu, sehingga bisa menjadi bekal untuk proses yang kami sedang jalani di pengadilan negeri," ucap Haris, dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/9/2023).

Lebih lanjut, Haris menegaskan, permohonan yang diajukan merupakan materi perundangan yang diyakini telah kehilangan konteks, terutama secara historis. 

"Untuk itu, saya berharap sekali Ketua Mahkamah Konstitusi dan juga majelis yang terhormat ini bisa memberikan keleluasaan untuk memeriksa secara materiil secara kontekstual terutama melihat pada historisitas pasal tersebut," tutur Haris Azhar.

Baca juga: Besok Haris Azhar dan Fatia Bawa 2 Saksi Meringankan di Sidang Pencemaran Nama Baik Luhut

Haris kemudian berharap agar proses kebebasan berekspresi tetap terjaga dengan baik, namun tidak juga diganggu.

"Di satu sisi memang ada permintaan untuk tidak dipakai berlebihan (UU ITE), tetapi di sisi lain pengguna kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi juga tidak terancam," kata Haris.

Usai mendengar keterangan dari satu di antara pemohon, Ketua MK Anwar Usman mengatakan, keterangan dari Haris dicatat pihaknya dalam berita acara persidangan.

"Apa yang disampaikan tadi tercatat dalam berita acara ya," ucap Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Diberitakan sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman, mengatakan sidang hari ini, sejatinya beragendakan mendengar keterangan dari DPR dan Presiden atau pemerintah.

Meski demikian, ia kemudian mengungkapkan, pihak DPR dan Kementerian Hukum dan HAM sebagai perwakilan presiden meminta perkara ditunda.

"Sidang pleno untuk perkara nomor 78 tahun 2023, agendanya adalah untuk mendengar keterangan DPR dan kuasa presiden. Berdasarkan surat dari DPR dan juga dari Kementerian Hukum dan HAM, meminta perkara ini ditunda," kata Anwar Usman, dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/9/2023).

Hakim Konstitusi Anwar Usman mengonfirmasi hal tersebut ke perwakilan presiden yang hadir langsung, di ruang sidang.

"Untuk Kuasa Presiden, benar ya (minta sidang ditunda)?" tanya Anwar.

"Ya betul Yang Mulia, karena kami belum siap memberikan keterangan presiden berdasarkan rapat antar kuasa," jawab seorang pria, selaku perwakilan presiden.

Oleh karena itu, Anwar menyatakan, sidang tersebut tak bisa dilanjutkan.

Sehingga, sidang mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah harus ditunda.

Baca juga: Haris Azhar Akui Sebut Kata Lord Luhut Hanya Terucap Lisan di Podcast, Tak Ada di Riset Akademik

"Ya, dari DPR juga begitu (minta sidang ditunda), jadi demikian ya para pemohon, sidang ini tidak bisa dilanjutkan," ucap Ketua MK itu.

"Untuk itu sidang ditunda, pada hari Senin, 9 Oktober 2023 jam 11.00 WIB, dengan agenda tetap yaitu masih mendengar keterangan DPR dan pemerintah," kata Anwar Usman.

Dalam permohonannya, Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanti selaku Pemohon I dan Pemohon II merasa hak konstitusionalnya dirugikan secara konkret akibat ketentuan pasal-pasal yang diuji. 

"Para Pemohon menilai keberadaan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan justru menghambat dan mengkriminalisasi para Pemohon yang mempunyai fokus kerja yang berhubungan dengan pemajuan hak asasi manusia dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)," dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, pada Rabu (20/9/2023).

Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan pasal a quo nyatanya digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang kritis terhadap pejabat negara maupun kebijakan pemerintah.

"Dalam hal ini, Pemohon I dan Pemohon II terbukti bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan proses pidana terhadap Pemohon I dan Pemohon II dibanding menindaklanjuti, memeriksa, mengadili perkara yang sejatinya menjadi pokok substansi masalah," tulis MK.

Melalui petitum provisinya, para pemohon meminta agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan Provisi Para Pemohon. 

Selanjutnya, mereka juga memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk menghentikan dan menunda pemeriksaan perkara No. 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan No. 203/Pid.Sus/2023/PNJkt.Tim., sampai pengujian UU ITE di Mahkamah Konstitusi yang diajukan pemohon ini diputus MK.

Tak hanya itu, para pemohon juga meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved