MK Respons Pro-Kontra Masyarakat Terhadap Larangan Kampanye di Fasilitas Pendidikan
Mahkamah Konstitusi (MK) merespons pro-kontra masyarakat terhadap larangan kampanye di fasilitas pendidikan.
“Secara teknis nantinya juga akan sulit bagi sekolah saat lembaganya digunakan untuk tempat kampanye di saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini juga berpotensi membahayakan keselamatan peserta didik nantinya”, ujarnya.
Baca juga: Federasi Serikat Guru Sayangkan MK Bolehkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan
Retno mengatakan, seharusnya kampanye di fasilitas pendidikan, seperti sekolah TK, SD dan SMP tidak diperbolehkan. Karena siswa di tingkat tersebut belum termasuk usia memilih atau belum memiliki hak pilih.
"Bahkan di SMA dan SMK pun hanya sebagian peserta didik yang sudah memiliki hak pilih karena sudah berumur 17 tahun, mereka adalah pemilih pemula, yang jumlahnya cukup besar dan menjadi target banyak caleg, cabup/cawalkot, cagub dan capres," jelasnya.
Lebih lanjut, kata Retno, tempat pendidikan memang boleh menjadi tempat untuk mempelajari ilmu politik. Namun, tidak untuk kepentingan politik elektoral tertentu.
"Fasilitas pemerintah boleh digunakan untuk pencerdasan politik bangsa, tetapi tidak untuk kepentingan elektoral tertentu," ucapnya.
Adapun mengenai persyaratan "tanpa atribut" dalam berkampanye di kampus, menurut Retno, hal itu tidak menghilangkan relasi kuasa dan uang.
"Sebab, dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk mengomersialkan panggung politik di dalam tempat pendidikan," jelasnya.
Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengundang para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di 2024 datang ke kampus kuning, di Depok, Jawa Barat.
Ketua BEM UI Melki Sedek Huang menyampaikan hal ini merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pendidikan.
Melki mengatakan, dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023, tak ada satu pun frasa yang menyebutkan memperbolehkan kampanye di kampus, melainkan disebutkan bahwa institusi pendidikan diperbolehkan untuk mengundang para calon dengan tidak membawa atribut dan alat peraga.
Sehingga, menurutnya, hal ini perlu dimanfaatkan pihaknya untuk menguji kapasitas dan substansi para capres dan cawapres jelang Pilpres 2024 mendatang.
Hal ini, kata Melki, agar kampanye yang dilakukan para calon pemimpin bangsa itu tak minim substansi dan sekadar lip service.
"Menurut saya, banyak kampanye hari ini membosankan. Generasi muda sudah bosan melihat banyak kampanye minim substansi dan lip service semata. Apalagi jika ditambah dengan permainan identitas dan pencitraan yang tak perlu," kata Melki, dalam keterangannya, Senin (21/8/2023).
"Tapi celah kebolehan mengundang para calon pemimpin ke kampus ini harus dimanfaatkan. Sudah saatnya setiap kampus kembali ke marwahnya sebagai tempat pencarian kebenaran guna sebesar-besarnya kemaslahatan bangsa. Tiap calon pemimpin harus diuji kapasitas dan substansinya di dalam kampus secara serius daripada sekadar jualan pencitraan dan kampanye tak bermutu," sambungnya.
"Kebolehan institusi pendidikan untuk mengundang para calon pemimpin harus digunakan untuk menguji substansi dan isi otak tiap calon pemimpin, bukannya jadi ladang cari muka para pimpinan kampus dan ladang main mata kaum intelektual dan politisi saja."
Dewan Pers Dukung Uji Materi Pasal 8 UU Pers ke MK: Aturan Dinilai Abstrak dan Multitafsir |
![]() |
---|
Kondisi Belum Kondusif Akibat Demo, Pemerintah dan DPR Minta Sidang di MK Secara Daring |
![]() |
---|
Ahli Sebut Alasan Kondisi Fisik Tidak Relevan Bedakan Usia Pensiun Guru dan Dosen |
![]() |
---|
Akhirnya, Gibran Ditagih Janji 19 Juta Lapangan Kerja oleh Mahasiswa di DPR |
![]() |
---|
HNW Dukung Putusan MK Agar DPR Segera Revisi UU Zakat: Maksimalkan Manfaat dan Potensi Zakat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.