Rabu, 1 Oktober 2025

Pemilu 2024

MK Putuskan Sistem Pemilu Tetap Proporsional Terbuka, Begini Tanggapan Fadli Zon

Fadli Zon, merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan terkait sistem pemilu tetap proporsional terbuka. 

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
Fersianus Wiku
MK Putuskan Sistem Pemilu Tetap Proporsional Terbuka, Begini Tanggapan Fadli Zon 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan terkait sistem pemilu tetap proporsional terbuka

Fadli Zon menyatakan, meskipun banyak pihak yang sempat mengkhawatirkan independensi dan integritas MK terkait gugatan uji materiil sistem pemilu ini, namun keputusan MK telah meneguhkan sistem proporsional terbuka.

"MK masih konsisten dengan yurisprudensi yang telah dibuatnya bahwa sistem dan teknis pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, merupakan bagian dari open legal policy, alias ranah pembuat undang-undang. Dalam hal ini, kewenangan untuk memutuskan masalah tersebut merupakan kewenangan dari DPR dan Presiden," kata Fadli Zon kepada wartawan, Kamis (15/6/2023).

Menurut MK, kata Fadli Zon, meskipun terdapat kekurangan dalam sistem pemilu proporsional terbuka, akan tetapi perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek.

Di antaranya, kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi. Ia pun menyatakan, keputusan MK itu merupakan kabar gembira bagi demokrasi di Indonesia.

"Ini merupakan berita gembira bagi demokrasi kita terutama membuka ruang partisipasi publik dalam pemilu untuk dipilih dan memilih. Ada beberapa alasan saya kira kenapa putusan MK terkait uji materi sistem pemilu ini pantas diapresiasi dan dipuji oleh publik," ungkap Fadli Zon.

Ia menuturkan bahwa putusan ini lahir ketika indeks kepercayaan publik terhadap MK untuk pertama kalinya dalam sejarah berada di bawah Mahkamah Agung (MA). Padahal, MK dan KPK yang juga lembaga lahir sesudah proses reformasi, biasanya selalu merajai survei kepercayaan publik. 

"Namun, belakangan tingkat kepercayaan publik terhadap dua lembaga tadi terus merosot, di bawah lembaga penegakan hukum lainnya," jelasnya.

Itu sebabnya, kata Fadli Zon, di tengah melemahnya tingkat kepercayaan publik, putusan MK yang tetap konsisten menjadikan sistem pemilu sebagai ranah open legal policy patut diapresiasi. 

Ia menjelaskan putusan MK ini mengukuhkan pandangan bahwa isu pilihan sistem pemilu, dalam hal ini proporsional terbuka ataupun tertutup, bukanlah termasuk isu konstitusional. 

Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak pernah mengatur tentang sistem pemilu, apakah bersifat proporsional terbuka atau tertutup. 

"Penentuan sistem pemilu merupakan isu teknis, bukan isu konstitusional. Ini ranahnya para pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, bukan ranahnya MK untuk ikut menentukan," bebernya.

Selanjutnya, kata dia, ketika keputusan ini diambil, sebagian tahapan pemilu telah dimulai dan proses administrasi kepemiluan juga sudah berjalan. Jika sampai sistem pemilu diubah di tengah jalan, ini bisa menimbulkan kekacauan politik dan ketatanegaraan. 

"Kita bersyukur hal itu tak sampai terjadi. Jika sampai terjadi kekisruhan, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Itulah sejumlah alasan kenapa kita perlu memberi apresiasi terhadap MK," jelasnya.

Lebih lanjut, Fadli menambahkan bahwa sistem proporsional terbuka merupakan bagian dari hasil Reformasi yang dulu diperjuangkan. Jadi, sistem pemilu ini merupakan anak kandung reformasi. 

Ia menuturkan setiap upaya menarik sistem pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup merupakan bentuk kemunduran terhadap reformasi dan demokrasi. 

Sejak Pemilu 2004, kata Fadli, sistem pemilu secara umum sudah menganut sistem proporsional terbuka. Hanya saja teknis pelaksanaannya sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 lalu memang telah mengalami beberapa perubahan terkait metode dalam proses alokasi kursi. 

Baca juga: DPR RI Bakal Hadir Langsung dalam Sidang Putusan Sistem Pemilu di Mahkamah Konstitusi 

"Tetapi, seluruh perubahan metode tadi tetap berada dalam frame sistem pemilu proporsional terbuka. Jadi, tak benar kalau ada yang mengatakan MK pernah mengubah sistem pemilu menjelang Pemilu 2009 lalu, sehingga tidak masalah kalau MK kembali mengubah sistem menjelang Pemilu 2024 nanti. MK tak pernah mengubah sistem pemilu, karena sejak 2004 sistem pemilu kita telah menganut sistem proporsional terbuka," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Mahkamah Konstitusi pun membacakan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait uji materi sistem pemilu proporsional terbuka, Kamis (15/6/2023).

"Mengadili, dalam provisi, menolak permohonan provisi pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan tersebut di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis.

Sedangkan, Hakim MK juga menyatakan menolak permohonan para pemohon dengan seluruhnya.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," sambung Anwar Usman.

Dengan demikian, sistem Pemilu 2024 tetap menggunakan proporsional terbuka

MK menegaskan pertimbangan ini diambil setelah menyimak keterangan para pihak, ahli, saksi dan mencermati fakta persidangan. 

Hakim pun membeberkan salah satu pendapatnya terkait sejumlah dalil yang diajukan oleh pemohon. Di mana, Hakim berpendapat bahwa dalil yang disampaikan pemohon terkait money politik dalam proses pencalegan seseorang tidak ada kaitannya dengan sistem Pemilu.

Dalam konklusinya, MK menegaskan pokok permohonan mengenai sistem Pemilu tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Sebelumnya, sebanyak enam orang mengajukan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tentang sistem proporsional terbuka

Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu.

Mereka pun berharap MK mengembalikan ke sistem proporsional tertutup. 

Adapun, keenam orang tersebut adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nono Marijono.

Rangkaian proses persidangan sebelum putusan telah dilakukan sejak November 2022 lalu.

Jelang sidang sekitar dua minggu lalu, pakar hukum tata negara sekaligus Mantan Wamenkumham Denny Indrayan mengaku mendapat informasi kalau MK akan memutuskan sistem pemilu menggunkan sistem pemilu tertutup atau coblos partai.

Partai memiliki kekuasaan untuk menentukan caleg yang akan menjadi anggota dewan.

Adapun sebanyak delapan fraksi partai politik yang menolak sistem tertutup, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Sementara, Partai yang mendukung proporsional tertutup di Pemilu 2024 adalah PDI Perjuangan (PDIP) dan Partai bulan Bintang (PBB).

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved